Lihat ke Halaman Asli

Shefti Lailatul Latiefah: Mereka butuh pendamping, rumah, makan dan kasih sayang..

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1357200237956510942

[caption id="attachment_218089" align="aligncenter" width="768" caption="facebook.com"][/caption]

Sempat ditentang orangtua lantaran sibuk ‘mengurusi’ anak jalanan. Bermula dari twitter, gerakannya berhasil membangun jejaring komunitas anak jalanan hingga menjalar 14 kota di Indonesia.Rela hidup bersama dengan adik asuh anak jalanan dan kurang mampu. Sejumlah program binaan berhasil dilakukan.

Tingginya angka anak putus sekolah dan anak jalanan membuat hati Shefti Lailatul Latiefah terketuk.Tak banyak gadis sepertinya, rela bergelut mendampingi anak jalanan. Jauh merantau dari tanah kelahiran di Jombang, Jawa Timur, untuk kuliah di Universitas Paramadina, Jakarta, tak dijalani begitu saja. Shei, begitu disapa, menjalani hari-hari seperti mahasiswa lain pada umumnya.Kuliah, berorganisasi, dan mengerjakan tugas.

Disisi lain, ia mempunyai ‘kehidupan’ diluar perkuliahan. Aktifitas yang ‘enggak umum’ dilakukan mahasiswi seusia dia. Yaitu tak lepas dari anakjalanan. Seperti mendongeng, mengajar, mendampingi, bermain bersama, menyediakan rumah singgah, dan memberi kasih sayang. Kepekaan tinggi akan nasib mereka menggugah Shei menggagas komunitas berjejaring peduli anak jalanan bernama Save Street Child (SSC).

Awalnya, sebelum komunitas ini resmi23 Mei 2011, sudah lebih dulu Shei mengenal dan mempelajari sosok anak jalanan. Kisahnya bermula saat ia bersama temannya makan di warung di pinggir jalan kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Desember 2010. Datanglah dua pengamen cilik, Lisa dan Wati, ke warung tersebut.Shei lalu mengajak keduanyamakan bersama. Usai makan, Shei mengajak mereka ke kostnya di Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, untuk sekadar mampir.

Hingga kemudian, lewat twitter@SaveStreetChild, ia membangun komunitas yang diharapkan berguna bagi kehidupan anak jalanan seperti Lisa dan Wati.

“Save Street Child dibentuk dengan hati nurani,” ujar Shei, saat ditemui di kampusnya, Universitas Paramadina, Rabu (26/12).

13572004791986646776

Beberapa bulan berselancar di social media,SSC berkembang menjadi gerakan konkrit dan menjalar ke beberapa kota besar. Lalu dicontoh pemuda-pemudamlain di kota-kota itu hingga menjadi gerakan desentralis.

14 Kota

Terhitung, selain Jakarta, hingga kini, sudah ada 14 kota jaringan. Seperti Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Makassar, Manado, Palembang, Padang, Madura, Jember, Blitar, Depok, Pasuruan, dan Malang.

Selain menyebarkan kepedulian lewat tuit-tuit, SSC jadi pusat informasi tentang hal yang berhubungan dengan anak jalanan. Mulai dari penyediaan rumah singgah, relawan, hingga akses pelatihan untuk mengorganisir anak jalanan.

Untuk menghidupkan itu, Shei dibantu ke 12 temannya yang menjadi pengurus pusat di SSC. Ada mahasiswa, pekerja, masyarakat umum, dan pelajar sekolah.

Sehari-sehari, Shei menetap bersama ke enam adik asuhnya di rumah kontrakan sederhana di Jalan STM Mandiri No.40 Gang Haji Jamirih Rt.6 Rw.12 Pancoran Mas, Depok – Jawa Barat. Usia mereka rata-rata 5 hingga 13 tahun. Kontrakan tiga kamar dengan sewa Rp700 ribu per bulan itu sekaligus menjadimarkas besar SSC.

[caption id="attachment_218092" align="aligncenter" width="720" caption="facebook.com"]

13572005321723179495

[/caption]

Layaknya sebagai kakak, gadis kelahiran Jombang, 5 September 1989 ini membiayai hidup adik asuhnya.Mulai dari makan hingga uang saku, ditanggung Shei dari uang pribadi kiriman orang tua.

Meski begitu, Shei tak mau terus memberi ‘ikan’. Sejumlah program pengajaran dan pendampingan penting, agar adik asuhnya menjadi pribadi mandiri dan terampil.

Perhatian juga tak luput dari anak didik lainnya. Shei membangun sejumlah sekolah alternatif gratis yang sudah tersistem.

Ada kelas Kampung Manggah, Depok (50 anak), Taman Anggrek, Jakarta Barat (30 anak), Stasiun Pondok Cina, Depok (5 anak), dan Stasiun Pondok Ranji, Tangerang Selatan (15 anak).

Umumnya anak kurang mampu dari lingkungan sekitar direkrutShei. Sebentar lagi, ia akan membangun kelas di Stasiun Pasar Minggu, Pancoran dan Kelapa Dua, Depok.

Pengajar berasal dari mahasiswa, pelajar, pekerja, maupun masyarakat umum yang tak dibayar. Mereka di rekrut lewat program Pengajar Kerenyang di trainingdua kali setahun.

Tak sembarang cara mendirikan kelas alternatif. Selain izin petugas RT setempat dan ‘preman’ sekitar, faktor lokasi turut dipertimbangkan. “Harus survei. Lokasi di sekitar stasiun kereta api potensial untuk menjaring anak jalanan,” katanya.

Sejumlah pengajar terpilih lalu disebar ke beberapa titik kelas dengan jadwal jam pelajaran bervariasi. “Bahkan ada pengajar bolak-balik Bandung-Jakarta untuk mengajar,” ucap, sulung dari dua bersaudara ini.

Meski sifatnya desentralisasi,Shei memberi hak otonomi utuh ke kota-kota lain melakukan kegiatan konkrit. “Satu tangan hanya bisa memulai, dan tangan lain meneruskan. Itulah yang dinamakan pergerakan,” selorohnya.

[caption id="attachment_218093" align="aligncenter" width="640" caption="facebook.com"]

13572005832048878862

[/caption]

Bagi Shei, di tengah sejumlah yayasan dan lembaga peduli anak jalanan mengalami mati suri lantaran ketiadaan donatur, relawan dan ide progresif, SSC membawa angin segar. Tentu, bagi tangan-tangan yang siap membantu secara independen. “Independen enggak cuma dimulut, tapi mesti berpikir visioner,” katanya.

Walau begitu, ia tak mau ada pihak tertentu menunggangi SSC. Shei tegas menolak pemberian sponsor dan tak ingin menjadi boneka perusahaan. Soal penggalangan dana, SSC bersifat mandiri. “Selain donatur, kami jualan merchandise,” lanjutnya.

Bahkan, beberapa waktu lalu, SSC memperoleh donatur 10 juta dari individu saat Shei ‘berjumpa’ orang itu di twitter. Tak seperti kini. Awal mengurus SSC, kondisi tak mengenakkan sempat ia rasakan. Ditinggal pergi beberapa teman-teman, hingga dikecam orang tua sudah ia alami.

“Orangtuaku pernah bilang: ‘ngapain, sih, ngurusin mereka (anak jalanan), bikin kamu makin dekil aja’,”katanya.Akhirnya, lambat laun, keluarganya mendukung.

Terapkan Disiplin

Soal kenakalan anak didiknya juga sudah dirasakan. Yakni saat uang pribadinya di dompet dicuri adik asuhnya di rumah kontrakan.

“Saya banyak menerapkan disiplin, leader, dan wirausaha,” kata mahasiswi dari Program Studi Ilmu Komunikasi angkatan 2008 ini.

[caption id="attachment_218094" align="aligncenter" width="960" caption="facebook.com"]

1357200615277409698

[/caption]

Sepanjang 2012, sejumlah kegiatan dilakukan Shei bersama SSC. Seperti sharing film dokumenter Bantu Mereka untuk Masa Depan, (20/4) di Fx Mall, Jakarta; festival ‘Kompasianival 2012’ (17/11) di Gandaria City; music and charity ‘Saweran Persaudaraan’ (9/12) di Gramedia Matraman; dan kelas ‘Akademi Berbagi Depok’ (28/12) di ruko ITC Depok.Terakhir, ‘Peduli Musik Anak’ (30/12) di Gedung Kesenian Jakarta. Shei juga pernah di undang di beberapa program televisi soal kisah inspirasinya.

Diantara sekian gerakan perubahan, Shei mantab bersama anak jalanan. “Saya merasa beruntung, bisa hidup enak, nyaman, melihat mereka butuh pendamping, memberi rumah, makanan dan kasih sayang,” ucapnya.

Banyak cita-cita yang belum terwujud. Selain ingin membentuk badan hukum untuk SSC, gadis yang akan wisuda April 2013 ini, tengah berencana membangun sekolah keliling.Rencananya, sekolah keliling dengan moda kendaraan ini akan menyasar wilayah terpencil.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline