Lihat ke Halaman Asli

Please, jangan ada lagi Diego Mendieta lain!

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13551205081223430543

[caption id="attachment_213752" align="aligncenter" width="480" caption="twitter.com"][/caption] Sepekan sudah, kematian tragis yang menimpa penyerang Persis Solo versi Liga Indonesia Diego Mendieta, Selasa (4/12) dinihari, menjadi buah bibir di pesepakbolaan Tanah Air. Usai dirawat sejak 27 November 2012 di RSUD Dr Moewardi, Solo, Diego menghembuskan nafas.

Ia meninggal akibat serangan Cytomegalovirus. Menurut Kepala Bagian Penyakit Dalam RSUD Dr Moewardi Solo Prof Dr Ahmad Guntur Hermawan, virus ini menyerang otak belakang pemain berusia 32 tahun itu. Virus ini menyebar ke seluruh bagian tubuh, termasuk mata dan otak.

Tak hanya itu, ia juga terserang jamurCandidiasis di bagian tenggorokan hingga saluran pencernaan, serta positif menderita demam berdarah. Lantaran virus dan jamur yang menyebar, berat tubuhnya menurun hingga 10 kilogram.

Ironisnya, ia meninggal dalam kondisi kesepian, tak ada kerabat di Indonesia. Belum lagi, gaji selama empat bulan senilai total Rp 120 juta belum dibayar.

Akibatnya, lebih dari enam bulan ia menunggak bayar sewa kost Rp 1.150.000 per bulan. Diego menetap sendiri di kost di kampung Kalitan, Banjarsari, Solo. Kondisi keuangan yang memprihatinkan membuat ia harus ‘menumpang’ dan hidup dari belas kasihan orang lain.

Sebelum meninggal, Diego sempat keluar masuk rumah sakit. Sebelum di RSUD Dr Moewardi Solo, ia pernah ‘menginap’ di Rumah Sakit Islam Surakarta Yarsis, Pabelan-Sukoharjo, sejak Kamis (8/11), usai di diagnosa tifus dan infeksi saluran pencernaan.

Dari keterangan Diego yang dilansir SuaraMerdeka, Jumat (9/11), ia mengaku tak ingin lama-lama dirawat di rumah sakit itu lantaran tak sanggup membayar tagihan perawatan hingga mencapai Rp 7 juta. Akibatnya, belum genap empat hari dirawat, Diego memilih segera keluar dari rumah sakit.

Seperti diketahui, setelah Persis Solo dinyatakan bubar pada Mei 2012, praktis Diego dan pemain lain mengalami hal serupa, yaitu keterlambatan gaji. Akhirnya, selepas klub bubar, kontrak Diego berakhir Juni 2012.

“Setelah putus kontrak, masalah pribadi bukan tanggung jawab klub,” ucap mantan manajer Persis Solo Totok Supriyanto, saat dihubungi, Senin (10/12).

Meski begitu, masyarakat sudah terlanjur menghakimi klub itu karena dianggap mengenyampingkan kesehatan bekas atlitnya. Namun, Totok mengakui, selama ini upaya untuk melunasi gaji Diego sudah maksimal. Totok berdalih, Persis Solo sudah mengalami kondisi keuangan sejak 2009.

“Musim tahun ini tidak bagus untuk keuangan. Akibatnya, kami banyak kesulitan keuangan dan berimbas pada kelancaran gaji,” katanya. Menurut Totok, tak hanya gaji Diego yang ditunggak, pemain Persis lain mengalami nasib serupa. Namun, Totok menjanjikan, pihaknya akan melunasi gaji pemain lain paling lambat pertengahan Desember 2012.

Memang, dua hari usai meninggal, gaji Diego sebesar Rp 131 juta dibayar lunas dan langsung ditransfer ke istrinya, Valeriana Alvarez, di Paraguay. Mantan pemain Persitara ini turut meninggalkan tiga anaknya.

“Uang sebesar itu kami cari dari mana saja, termasuk dari dana talangan,” ujarnya.

Jumlah itu terdiri dari gaji Diego empat bulan. Per bulan senilai Rp 21 juta. Lalu, kekurangan uang muka kontrak senilai Rp 47 juta (30 persen dari uang muka). Terakhir, biaya ongkos kepulangan Diego sebesar Rp 50 juta.

Kasus Diego bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Pada 13 Oktober 2012, mantan gelandang Persita Tangerang, Bruno Zandonadi, meninggal karena radang selaput otak di Ruang ICU Rumah Sakit Usada Insani, Tangerang, Banten. Bruno tak memiliki biaya membayar rumah sakit.

Lain hal dengan Syilla Mbamba, Camara Abdoulaye Sekou, dan Salomon Begondo. Mereka terpaksa mengamen lantaran gaji belum dibayar oleh Persipro Probolinggo.Mereka baru menerima 15 persen dari nilai kontrak. Mereka terpaksa mengemis dan mengamen di depan Kantor Walikota Probolinggo. Belum lagi, Jorge Paredes dari Persbul Buol sempat meminta bantuan lewat media massa untuk memenuhi biaya proses persalinan istrinya. Dari catatan Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia APPI, ada 21 klub yang masih menunggak gaji pemainnya. Ini merupakan bukti lemahnya perlindungan pemain Indonesia dan konflik elit sepakbola yang berkepanjangan. Mau sampai kapan? ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline