Lihat ke Halaman Asli

Pondasi Filsafat dalam Pendidikan

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Filsafat dan Pendidikan layaknya dua sisi dalam satu keping uang logam yang tidak dapat dipisahkan, dalam definisi tertentu filsafat diartikan sebagai teori pendidikan dalam segala tingkat. Van Cleve Morris menyatakan:

“Secara ringkas kita mengatakan bahwa pendidikan adalah studi filosofis, karena ia pada dasarnya, bukan alat sosial semata untuk mengalihkan cara hidup secara menyeluruh kepada setiap generasi, akan tetapi ia juga menjadi agen (lembaga) yang melayani hati nurani masyarakat dalam perjuangan mencapai hari depan yang lebih baik.”[1]

Jadi dilihat dari tugas dan fungsinya, pendidikan harus dapat menyerap, mengolah dan menganalisis serta menjabarkan aspirasi dan idealitas masyarakat. Pendidikan harus mampu mengalihkan dan menanamkan aspirasi dan idealitas masyarakat itu ke dalam jiwa generasi penerusnya. Untuk itu pendidikan harus menggali dan memahaminya melalui pemikiran filosofis secara menyeluruh terutama problema-problemanya.

Dalam filsafat pendidikan topik-topik yang dibahas biasanya berkisar pada hakikat pendidikan, hakikat ilmu pengetahuan dan kurikulum, hakikat mengajar dan mendidik, hakikat moral dan agama atau hakikat masyarakat dalam kacamata pendidikan, sedangkan dalam pondasi filsafat, pembicaraan tertuju kepada sifat atau karakter filsafat. Namun keduanya memiliki titik singgung atau beberapa kesamaan dalam menopang atau memberi kontribusi terhadap kegiatan pendidikan. Topangan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, berfungsi sebagai infrastruktur bagi perilaku guru saat melaksanakan tugas pendidikan. guru yang memahami filsafat akan memperlakukan unsur-unsur yang terlibat kegiatan pendidikan (khususnya murid, waktu, bahan ajar dan proses pendidikan (khususnya murid, waktu, bahan ajar dan proses pendidikan) dengan perilaku yang lebih manusiawi/secara universal, bertujuan dan jelas argumennya, karena didukung oleh suasana batin (sebagai infrastruktur perilaku) yang memiliki karakter filsafat, seperti analitik, sistematik, rasionaal, dan universal.

Kedua, mendisiplinkan perilaku pendidik dan terdidik. Disiplin dalam pengertian memiliki kesadaran berperilaku yang konsisten dengan nilai antara lain dihasilkan oleh kemampuan berfikir radikal dan sistematis mengenai hakikat mengajar dan mendidik. Filsafat pendidikan akan menuntun guru mendisiplinkannya berdasarkan kesadaran makna hakiki pendidikan dan pengajaran tersebut.

Ketiga, kritis terhadap lingkungan pendidikan. Berdasarkan pemahamannya terhadap hakikat pendidikan, hakikat ilmu, dan hakikat anak didik, guru akan selalu berpihak kepada kepentingan anak didik dan karena itu segala hal yang mengakibatkan kerugian bagi anak didik, akan dikritisi secara proporsional sesuai dengan tingkat pemahaman yang dimilikinya. Pada umumnya guru yang memahami utuh filsafat, selain kritis juga arif dalam bertindak. Kritis tanpa kearifan biasanya terjadi pada guru yang masih dalam proses internalisasi nilai-nilai falsafati. Sedangkan kearifan tanpa dibarengi pemikiran kritis pada dasarnya tidak akan terjadi, sebab kearifan merupakan derajat kepribadian yang dipersyarati penguasaan menyeluruh terhadap suatu bidang ilmu yang menjadi “rumah” berfikir kritis.[2]

Keempat, selektif atas alternatif yang tersedia. Guru menjiwai filsafat akan terdorong untuk selalu membaca dan membaca berbagai informasi yang berkaitan dengan konsep, teori, dan praksis pendidikan dari berbagai sudut pandang, baik ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Hal itu banyak dan terus bertambah setiap hari. Namun dengan jiwa filsafatnya, ia tidak akan menelan begitu saja berbagai temuan di negeri orang. Ia akan merujuk pada pemikiran filsafatnya, tidak akan terburu-buru menerima tawaran keuntungan yang disodorkan pengalaman pendidikan di negeri orang. Berbagai konsep dan cara mendidik di Jepang, Amerika, dan Eropa umpamanya akan dibaca dan kemudian disaring oleh saringan filsafat pendidikan Islam yang dipahaminya.

Kelima, kritis terhadap istilah-istilah. Sebagai implikasi praktis dari butir keempat, maka guru yang memahami filsafat pendidikan akan sangat kritis terhadap penggunaan istilah-istilah pendidikan yang dipakai ilmuwan lain. Hal ini sebagai konsekuensi berpikir radikal yang menegaskan adanya implikasi dan inovasi yang perlu dijalankan adalah bagaimana menyeimbangkan daya kritis tersebut dengan performa yang tetap ramah, arif, dan toleran terhadap perbedaan pemikiran dan pendapat pihak lain, sehingga sosok kritis tersebut tidak menjelma jadi manusia yang sok tahu dan merasa paling benar sendiri, atau menjadi polisi kebenaran dalam dunia pendapat yang bersilang dan beragam. Dalam upaya mencari kebenaran, performa demikian pada gilirannya justru akan merugikan diri sendiri.[3]

Mudah-mudahan dengan semakin meningkatnya pemahaman pendidik tentang pentingnya filsafat sebagai salah satu pondasi pendidikan, akan berdampak positif terhadap kualitas pendidikan di Indonesia ini. Amien.

[1] Van Cleve Morris, 1963, The Philosophy of Education: in Becoming an Educator, Boston, Houghton Mifflin Company, 57.

[2]Kearifan merupakan salah satu sisi dari sifat sabar. Tidak mungkin orang bertindak arif tanpa memiliki sifat kesabaran. Tapi kesabaran hanya akan ada pada orang yang menguasai bidang ilmunya. Bagaimana anda tidak menguasai masalahnya? Demikian “pertanyaan menguji” yang dilontarkan Nabi Khidir pada Nabi Musa saat yang terakhir mengajukan permohonan untuk menjadi muridnya (Q.S. 18:68)

[3]Sanusi Uwes, 2003, Visi dan Pondasi Pendidikan: Dalam Perspektif Islam, Jakarta, Logos, h., 109-111.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline