Lihat ke Halaman Asli

Puisi | Pidie Jaya

Diperbarui: 22 Desember 2018   15:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay

Kubawa namamu dalam setiap derap kaki ini,
ibu yang melahirkan dan kota yang membesarkan.
Meski kau cambuk aku, seolah terusir sekian
jarak waktu, tetap dalam darah ini kau
harum kenanga. Lintas sejarah yang berlayar
di tubuhku. Meski busuk sekalipun,
kau adalah wangi bagi kehidupanku.

Aku terus saja mengingatmu. Merasakan betapa
jauh kau di dekap peluk ini. Sepi dan tergerus
oleh kesendirian. Sendangkan orang-orang
menanak nasi di atas tubuhmu. Tapi kau lapar
dan mencari-cari tempat untuk berteduh
dari banyak kebohongan; rumah gempa,
ladang cokelat yang sekarat, dan waduk jebol
yang belum diselesaikan, tapi para pejabat makin
berpoya-poya ke Jakarta.

Lihatlah. Betapa kurus gunung-gunung kita.
Nelayan menjerit terlilit mesin bot yang mati.
Petani kehabisan nasi di lumbung padi dan
toke-toke berpesta setiap minggu ke Medan.
Membawa jerih payah kita. Setiap minggu,
warung-warung kita kosong. Sebab rumah-
rumah pegawai ada di kabupaten lain.
Tempat yang membuat tubuh kita gigil dan meriang.

Lihatlah lapangan Kota Meuredu. 
Kurus dan kering begini. 
Sedang pejabat sehat dan muda.

JAKARTA, 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline