Lihat ke Halaman Asli

Winni Soewarno

Orang biasa yang sedang belajar menulis

Sang Porter Stasiun Kereta

Diperbarui: 20 Mei 2022   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

news.detik.com

Aku baru saja keluar dari taksi, saat seorang porter – kuli angkut - menghampiriku. Dia berkeringat dan nafasnya agak menderu. Mungkin tadi berlari mengejar taksiku. Bawaanku tak banyak. Sebuah koper kecil dan satu plastik besar oleh-oleh yang tidak berat. Aku tidak memerlukan jasa porter untuk membawa barangku itu. Aku menggeleng untuk menolaknya. Kekecewaan terlihat dimata porter nomer 39 itu. 

Bahunya merosot turun dan melangkah menjauh. Ada sesuatu yang seakan menyentuh hatiku. Entah kenapa, aku memanggilnya untuk membawakan barang-barangku. Sekilas kegembiraan terlihat diwajahnya yang letih.

“Masih satu jam, Bu. Keretanya belum masuk. Ibu mau tunggu disini atau langsung ke atas?, tanyanya sopan. Perutku mengisyaratkan minta perhatian. Sudah jam dua rupanya. Lebih baik beli makanan untuk kunikmati di kereta nanti.

“Saya cari makan dulu ya, Pak.”

Porter itu berhenti dideretan tempat duduk kosong. “Saya tunggu disini ya, Bu.”

Aku menggangguk dan berlalu sambil mataku mencari-cari apa yang ingin kunikmati. Pilihan nasi goreng adalah makanan yang paling bisa kuterima dibanding beberapa gerai makanan siap saji yang berderet di dalam stasiun. Aku mampir disebuah kedai makanan yang terkenal dengan masakan mie-nya. 

Ada nasi goreng juga disitu. Sambil antri dilayani, aku melihat beberapa porter lain berbaju merah dan biru di area itu. Mereka tak ada yang duduk. Padahal banyak kursi yang kosong. Mungkin peraturannya seperti itu. Kursi tunggu diperuntukkan untuk penumpang saja, sementara porter menunggu dengan berdiri.

Sekitar sepuluh menit kemudian pesananku siap. Aku menenteng dua kantong kertas menuju tempat porter ku berdiri disamping koperku. Dia memberikan tempat duduk padaku.

“Bapak sudah makan?.” Si pak porter yang namanya Kamidin di seragamnya, menggeleng sambil tersenyum lemah. Aku mengulurkan satu kantong kertas yang kubeli tadi. Semula dia menolak. 

Tapi setelah agak kupaksa, akhirnya dia menerima. Ucapan terimakasih terlontar. Sambil membungkuk, dia mengucapkan terimakasih beberapa kali. Wah, hanya sewadah nasi goreng dan pangsit goreng saja membuatnya senang, pikirku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline