Lihat ke Halaman Asli

Winni Soewarno

Orang biasa yang sedang belajar menulis

When I'm Fall in Love With...

Diperbarui: 11 Mei 2022   15:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tastyrecipes.club

Aku ini orang yang suka sekali menikmati makanan. Terutama jika makanan itu pedas. Pasti nikmat di lidahku. Kata nenekku, lidahku bukan lidah orang Jawa lagi karena tak suka masakan manis.

Jika sedang melakukan tugas ke daerah, mencoba kuliner termasuk dalam daftar yang akan kulakukan diwaktu luangku. Meski begitu, aku menghindari makanan-makanan yang ekstrim, meskipun orang bilang itu enak.

Meskipun tidak termasuk dalam daftar makanan ekstrimku, jengkol dan petai masuk dalam menu makanan yang belum sanggup kumasukkan ke mulutku. Dimasak saja aku tak suka. Bau petai menurutku sangat menyengat. Apalagi dimakan mentah dengan sambal dan lalab seperti yang dilakukan teman-temanku.

Jengkol juga begitu. Meski teman-temanku dengan nikmatnya menyantap jengkol muda, lidahku belum tega.

Aku juga tak tahu alasannya kenapa aku tak suka dua jenis bahan makanan ini. Bisa jadi karena dalam keluargaku, makanan ini tidak terlalu diminati. Ayahku bilang, baunya menyengat. Jelas sekali ibuku juga jadi enggan menggunakannya dalam masakannya. 

Sehingga sulit juga bagiku membiasakan diri menikmatinya. Betul juga kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.

Sampai suatu hari aku melakukan perjalanan dinas ke kota Padang, Sumatera Barat. Bosku mentraktir makan malam di sebuah rumah makan. Seperti biasa, segala jenis makanan disajikan. Bau nasi hangat menguar di udara, membangkitkan selera makan. 

Ditambah kami memang melewati makan siang hari itu karena pekerjaan yang harus selesai segera. Bersyukur karena sebelum jam lima, tugas selesai. Bersiap-siap kami akan merapel makan siang yang kemalaman dengan makan malam yang agak kepagian.

Mataku tertuju pada gulai kepala ikan yang mengepul. Tak kutengok menu-menu yang lainnya. Apalagi menu petai goreng dicampur dengan teri agak besar dengan sambal hijau. Kusingkirkan kebelahku. 

Pak Nanang, sang bos,  yang mengetahui aku belum menyentuh nasiku, menyodorkan sepiring hidangan yang nampak seperti rendang.

“Coba ini. Enak. Rendang hati macan” tawarnya sambil tersenyum-senyum. Hati macan? Pikirku heran. Binatang yang dilindungi karena hampir punah ini, diambil hatinya untuk dimasak rendang?. Duh, kasian. Aku mengeluh dalam hati. Ini bos yang meminta aku mencobanya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline