Lihat ke Halaman Asli

Apa Dampak terhadap Perkembangan Demokrasi Korea Selatan Setelah Terjadinya Peristiwa Gwangju?

Diperbarui: 12 Oktober 2022   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seorang mayor jenderal angkatan darat yang bernama Chun Doo-Hwan. Pada tanggal 12 Desember 1979, Chun Doo-Hwan mengumumkan bahwa pada era itu militer telah berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya karena pada saat itu pandangan orang-orang mengenai tentara itu diktator (tidak baik). 

Namun masyarakat tidak setuju dengan hal tersebut dan yang tidak setuju adalah mahasiswa-mahasiswi disana. Karena mereka memikirkan bagaimana negara mereka berkembang dan tujuan dari negara mereka. 

Sedangkan pada saat itu Korea Selatan dibawah pemerintahan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Oleh karena itu pada awal Maret 1980, mahasiswa-mahasiswi mulai berkumpul untuk berdemo untuk menolak tentara yang memiliki kekuasaan yang berlebihan.

Pada 15 Mei 1980, 100.000 mahasiswa-mahasiswa berkumpul di Seoul untuk menolak sistem negara yang terlalu dikuasai oleh militer. Namun karena banyak nya tentara bersenjata yang berjaga disana, gerakan ini dibubarkan untuk menghindari adanya korban-korban yang dapat terluka. Tetapi hanya kota Gwangju yang masih melanjutkan gerakan ini. 

Mahasiswa-mahasiswi Gwangju pantang mundur hingga pesan mereka dapat tersampaikan kepada presiden dan para militer. Karena Chun Doo-Hwan mengetahui situasi ini, dia yang telah menerapkan darurat militer mengirimkan tentara untuk mengawasi Gwangju. 

Selama 10 hari, dalam aksi yang disebut Gerakan Demokratisasi Gwangju 18 Mei ini, mahasiswa dan warga berhadapan dengan 18 ribu polisi dan 3 ribu tentara. Selama 5 hari, dari 22-27 Mei, kota Gwangju berada di bawah kontrol rakyat.

Komite-komite yang menjalankan aktivitas pemerintahan untuk mengurus kebutuhan warga, dari soal bahan pangan hingga obat-obatan. Pada 27 Mei 1980, dini hari, rezim Chun Doo-hwan kembali mengerahkan militer secara besar-besaran untuk menghentikan perlawanan rakyat di kota Gwangju.

Pertempuran sengit berlangsung sekitar 90 menit. Pemberontakan rakyat Gwangju pun berakhir. Tentara bertindak melebihi batas dengan menyiksa, membunuh, hingga memerkosa. Peristiwa ini juga menyisakan banyak orang hilang hingga kini. 

Data pemerintah kota Gwangju menyebut ada 242 warganya hilang pasca peristiwa itu. Sementara keluarga korban menduga ada 300-an orang yang hilang. Peristiwa Gwangju juga menyisakan luka bagi tak sedikit perempuan. Data resmi menyebut, ada 17 orang perempuan yang menjadi korban perkosaan saat tragedi itu, termasuk remaja dan ibu hamil.

Polisi yang bersimpati pada demonstran dan membebaskan tahanan justru ditikam bayonet, sementara kepala polisi diculik dan disiksa karena menolak perintah Chun untuk melepas tembakan ke demonstran.  Modalitas besar yang dimiliki kota Gwangju dalam gerakan demokratisasi dan perjuangan pemenuhan hak politik, ekonomi, sosial dan kebebasan mendorong kota ini untuk bergerak maju menjadi kota HAM bagi dunia internasional. 

Peran Masyarakat Sipil yang tidak tinggal diam melihat pemerintahan yang terlalu sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan Demokrasi membuat Rakyat mengambil jalan terjal dalam mewujudkan pemerintahan yang lebih demokratis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline