Suatu hari saya dan keluarga staycation di satu hotel di kawasan Jakarta Utara. Kapan lagi? Kebersamaan dalam keluarga juga prioritas. Mumpung kedua anak masih dalam asuhan.
Saat check-out, saya membayar dengan kartu debit dari bank nasional. Namun setelah 3 kali diswipe card, kartu tetap eror. Untungnya tersedia ATM di lobi. Akhirnya saya membayar tunai. Jadi tidak sulit, bukan?
Di perjalanan pulang, saya periksa via e-banking terdesak rasa penasaran mengapa kartu tak dapat digunakan di hotel.
Ternyata saldo telah berkurang sejumlah biaya menginap Rp 2,2 juta. Saya langsung menelepon seorang manager di hotel bahwa saldo terpotong. Demikian, saya membayar dobel.
Bolak-balik ke bank selalu hampa tangan. Siang menjadi angan-angan, malam menjadi mimpi, tidak pernah terlupa, apalagi urusan finansial.
Ditambah perlakuan pelayanan pelanggan dengan muka ditekuk, tanpa senyum, apalagi menyapa. Enggan mendengarkan keluhan, apalagi membantu.
Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 2000-an, di mana media sosial masih terbatas sehingga tak mudah menyampaikan keluhan. Jika menghubungi bank melalui telepon, sungguh sulit menembus nomor itu.
Melalui proses yang lamban, serta menguras waktu dan tenaga, saya menerima kembali uang sebesar Rp 2,2 juta. Setelah hampir 3 bulan, masalah itu berhasil dituntaskan. Sungguh lama ya?
Terobosan baru bank nasional
Omong-omong tentang bank nasional, sejak dahulu saya percaya bahwa bank itu menjamin uang nasabahnya aman dan lancar. Meskipun tak luput dari keluhan nasabah, tetap dapat dituntaskan.
Hal yang menggembirakan, bank nasional di Indonesia telah banyak melakukan terobosan yang luar biasa sejak 15 tahun silam. Ada perubahan menyolok terhadap jasa perbankan di tanah air.
Bank tidak hanya mengatur finansial, mencari nasabah tapi juga memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh nasabah tanpa pandang bulu.