Saat duduk di bangku SD, ayah membelikan banyak buku cerita. Dari sekian banyak buku, ada satu buku cerita yang amat saya ingat.
Buku itu bersampul remaja pria bernama Samin dengan kaki dirantai di atas kapal. Di sebelah kanannya, seorang perempuan sedang memasak di tungku,
Samin Orang Rantai, judul buku itu. Saya tak ingat nama pengarangnya. Masa kecil memang tak sejauh itu mencerna sebuah buku.
Buku Samin Orang Rantai kira-kira setebal 100 halaman, pernah saya cari-cari di lemari buku ayah, tapi tak pernah kutemukan.
Sebagai gambaran, buku itu terbit seusia buku novel Sitti Nurbaya, karya Marah Roesli yang ngetop di zaman itu.
Tersebab saat saya membaca buku Samin Orang Rantai, kakakku Ben membaca buku Sitti Nurbaya (terbit tahun 1920) yang pernah dibuat film berjudul Sitti Noerbaja.
Jauh sebelum itu, saya telah lama mencari siapa gerangan pengarang buku itu, tapi nihil. Tiada sejarah mencatat buku itu dalam mesin pencarian.
Kemudian saya mengingat rangkaian kisah itu. Begini ceritanya.
Samin orang rantai
Samin, seorang remaja yang dilahirkan di sebuah desa. Sejak umur 5 tahun, sang ayah meninggalkannya. Menurut ibunda, ayah pergi karena kegemarannya melaut.
Sang Ibunda, Rohana, hidup bersama Samin anak tunggalnya dan jauh dari sanak saudara sejak dirinya dinikahi pria dari pulau sebrang.
Setiap hari Rohana bekerja di ladang. Mereka menanam singkong, ubi, jagung, papaya, pisang juga memelihara 5 ekor ayam dan kambing di kebunnya yang mengitari gubuk kecil itu. Gubuk itu jauh dari tetangga karena ia hidup di desa terpencil.
Saat beranjak dewasa, suatu hari Samin menyampaikan keinginannya pada ibunda.
"Mak, saya hendak melaut".
"Kita ini Nak, dari leluhurmu tidak ada yang menjadi pelaut. Hidup kita turun temurun dari bercocok tanam", begitu petuah ibunya.