"Mas, bakso doang, gak pakai mi!" pinta Ranti
Ranti jajan bakso gerobak yang lewat depan rumah. Mas Jon penjual bakso keliling, langganan Ranti.
Jam-jam lewat di depan rumahnya bisa ditebak, selalu datang pada jam yang sama. Jika lebih beberapa menit, pasti ia disetop langganan lain.
Saat remaja, saya doyan makan bakso. Harga bakso Rp 25 per porsi berisi 10 butir seukuran kelereng. Jika ukuran sedang dapat 5 butir per porsi.
Lima belas tahun berikutnya, tahun 2000-an, tukang jual bakso keliling jarang didapati. Ada, tapi tak banyak. Pedagang bakso beralih membuka warung bakso atau kedai kudapan.
Ada yang menggelarnya di garasi mobil, di paviliun, di rumah tinggal, bahkan di bawah pohon rindang. Saking lakunya bakso jualan Kang Koswara habis terjual dalam 4 jam.
Bakso yang lezat rasanya, cepat dikenal pembeli. Apalagi di tempat yang menetap, bagi pembeli mudah diingat.
"Hemat tenaga juga, Teteh. Kadang muter jauh-jauh, belum tentu ada langganan", begitu alasan Kang Kos.
Pembelinya kebanyakan pegawai kantoran pelajar, mahasiswa, anak-anak, ibu-ibu hingga orang tua.
Rina, kawanku memilih bakso daripada nasi rames untuk makan siang. Baginya bakso pengganti makanan utama. Rina keturunan Betawi asli. Sejak kecil sudah kenal bakso jajanan terfavorit.
Di Pontianak, ada penjual bakso terkenal. Namanya Mas Edi asal Jawa. Lokasi kedainya jauh dari pusat kota. Meski warungnya tak berpendingin, tetap saja dipadati pembeli.