Lelaki paruh baya itu menyisir jalan pertokoan. Pandangannya menerawang, kosong. Berjalan gontai. Kakinya menapaki trotoar.
Gedeblug!! Kakinya tersandung batu. Wajah pilu, meringis, kesakitan. Tempat pejalan kaki itu buruk, berlubang sepanjang jalan.
Sobi menoleh ke kiri kanan jalanan. Kota sudah berubah. Cukup lama ia kenal kota itu. Sejak lulus kuliah hingga memangku jabatan tinggi. Toko kelontong berubah menjadi hotel. Tempat dirinya bersenda gurau menjadi salon kecantikan.
Tiba di depan sebuah toko, dahinya berkerut. Wajahnya meringis, memegang luka di kaki akibat bongkahan semen trotoar tadi. Kulit sedikit terkelupas. Ia sudah cukup mengutuki dirinya.
Sobi menghampiri penjual soto. Pagi tadi belum sarapan. Semalam ia menumpang tidur di rumah seorang teman, Keluarga kerabat itu hanya sanggup menerima kehadirannya satu malam saja.
Hanya 5 menit ia habiskan nasi soto. Diisapnya sebatang rokok. Menguap sekejap lalu mengisap lagi. Asap rokok memerahkan matanya.
Hari pukul 11:00, mentari terik menyambut sibuknya kota. Di sebrang jalan, para kondektur di terminal bis sibuk meluruskan bisnya. Sekejap Sobi mengenang masa lalu.
Sepuluh tahun lalu dirinya berkantor di sudut jalan itu. Sekilas terbayang wajah sekertaris, Sri.
Sobi menarik nafas. Topinya dibiarkan menutup pandangannya, Wajah Wulan dan kedua anaknya di pelupuk mata. Ia merindu.
Sejenak bermain dengan asap rokok. Seolah asap dapat menghapus pikiran ruwetnya. Bayang-bayang wajah Wulan dan anak berkelebat kembali di matanya.