Ketidaktahuan (kerap) berujung pada kesoktahuan
Kalimat di atas saya ketik dengan kesadaran penuh, meskipun mampu menampar diri sendiri berkali-kali. Ya, kalimat ini sifatnya reflektif, tak ada maksud untuk menyindir pihak lain.
Setiap orang suka sekali menilai orang lain. Meskipun bukan seorang guru atau pun dosen, sebagian (besar) orang gemar memberikan penilaian (sendiri).
“Lagian, orangnya cari perhatian banget. Semua-semuanya diceritain di Twitter,” saya pernah berpikiran seperti ini; menilai menurut apa yang saya ketahui.
Untungnya, seorang teman mengingatkan, “Sabar, mba… Barangkali, itu semua karena dia anak tunggal, kurang mendapat perhatian dari orangtua. Akhirnya, dia ‘cari perhatian’ sama orang lain.” Inilah sisi lain yang tidak belum saya pahami.
Semua orang bisa saja tahu apa yang kita tuliskan di Twitter, tapi tidak semua orang (mampu) memahami mengapa kita menuliskannya.
Inilah tamparan lain yang saya tuliskan untuk diri sendiri. Ya, bunyinya tweet banyak yang tahu, tapi dalamnya hati waktu nge-tweet siapa yang tahu? Saya benar-benar menyadari akan hal ini. Saya pun pernah menjadi penyimak yang menelan mentah-mentah apa yang di-tweet-kan orang lain. Saya pun pernah menjadi korban spekulasi persepsi orang lain hanya karena bunyi tweet ambigu. Tuhan memang pemberi karma yang bijak. :)
Pertarungan makna
Siapa yang bisa mengelak kalau Twitter adalah lumbung segala hal yang multitafsir? Bahkan, hal ini pun menjadi topik yang menarik dan bisa dibahas dalam tulisan ilmiah.
Dilansir dari Harian Kompas (19/7/2012), media sosial jenis microblogging, seperti Twitter, menjadi institusi atau arena pertarungan pemaknaan dan praktik reproduksi wacana tentang pluralisme.
Kaitannya akan hal itu, Puspitasari, dosen Stikom The London School of Public Relations membuat disertasi dengan judul ”Kontestasi Pemaknaan Teks Pluralisme dalam Media Sosial”. Menurutnya, dalam media sosial terjadi pertarungan makna. ”Masing-masing pihak dalam posisi mendominasi pihak lain,” ujarnya. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Ade Armando, yang menjadi penyanggah disertasi itu, mengemukakan, media mainstream tidak bisa diharapkan karena terlalu banyak kepentingan yang menentukan arah kebijakannya.
“Terlalu banyak kepentingan yang menentukan arah kebijakannya”. Kalimat dari Ade Armando ini cukup menarik bagi saya. Ya, akun personal pun memiliki banyak kepentingan. Tak perlu muluk memaknai kata “kepentingan” di sini.