Lihat ke Halaman Asli

Serial Kepo (I): Aku-Kamu-Kepo!

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1332942599665308229

Pertama Kali Bertemu

“Elu tau sendiri kan, itu tuh si kepo. Bikin males!”

Ini bukan obrolan yang terjadi pada akhir-akhir ini. Ini adalah obrolan yang terjadi waktu saya duduk di bangku SMA, sekitar tahun 2005 yang lalu. Kalimat ini terlontar dari teman SMA saya yang memang kerap menggunakan istilah-istilah “lokal”-nya. Istilah-istilah yang tidak pernah saya temukan sebelumnya.

Waktu itu, saya mengira bahwa “kepo” adalah sebutan untuk orang yang fisiknya bertubuh pendek atau “bantet”. Ternyata, salah besar.

“Bukan, Gandes… Kepo itu sama kayak MTA (Mau Tau Aja).” Ya, istilah MTA memang lebih pamor dibandingkan “kepo” pada waktu itu. Akhirnya, saya menjadi paham dan kerap menggunakan istilah ini selama SMA.

Beberapa bulan yang lalu, saya iseng browsing untuk mencari asal mula kata kepo. Di antara sekian banyak sumber yang direkomendasikan oleh mesin pencari, saya memilih tautan yang pertama.

Kepo: berasal dari Bahasa Hokkian.

Ke = bertanya, Po (Apo) = nenek-nenek.

Jadi, artinya nenek-nenek yang suka banyak bertanya. Pengin tau banget, gitu.

(sumber: kitabgaul.com)

Demam #Kepo

Awal mula terjun ke dalam dunia kicau Twitter pada tahun 2009, saya belum menemukan “[hastag]+kepo” berkeliaran. Namun, apa yang terjadi saat ini? Cobalah ketik “[hastag]+kepo” dan cari di micro blogging ini. Walla! Anda akan menemukan kata “kepo” dalam berjuta-juta tweet, lengkap dengan hastag.

Sayangnya, kehadiran (orang) kepo selalu mengundang kecemasan di mana pun. Hingga pada 9 Maret 2012 yang lalu, saya menyinggungnya dalam kicauan. Tentang kepo dan dikepoin.

13329426501978106029

Berdasarkan kegelisahan saya, kemunculan social media semakin meningkatkan jumlah orang kepo (di dunia maya). Berawal dari Friendster, Facebook, hingga Twitter. Masih ingat kah Anda tentang fitur “Who’s viewed me”. Nampaknya, Jonathan Abrams paham adanya perilaku-perilaku khas dari para pengguna. Bisa jadi Bapak Friendster ini berasumsi, para pengguna memiliki rasa ingin tahu dengan berjalan-jalan ke profil pengguna lain. Sementara itu, mereka pun ingin tahu siapa saja yang telah melihat profil pribadinya.

Mengapa Suka Kepo? Tidak menampik kenyataan, saya juga pernah kepo dan/atau dikepoin. Kenapa sih, orang suka kepo?

1332942761214744662

Sadar bahwa pada hakikatnya manusia memiliki rasa ingin tahu. Tentunya, rasa ingin tahu semakin tinggi jika ada rasa ketertarikan lebih dulu. Kalau ada hal yang menarik, orang cenderung untuk menghiraukannya.

Bermodalkan asumsi ini, saya coba mengaitkan dengan salah satu teori komunikasi massa, Individual Differences Theory (Teori Perbedaan Individu). Kenapa saya menggunakan konteks komunikasi massa? Padahal, micro blogging sejenis Twitter ini memiliki karakteristik yang bias.

Jika Anda melakukan proteksi terhadap akun Anda, bisa jadi Twitter tidak memiliki beberapa sifat komunikasi massa. Komunikan tidak bersifat anonim dan heterogen karena yang menyimak pesan dari komunikator (Anda) adalah follower yang sudah Anda tentukan sendiri. Wajar, jika Twitter (dan beberapa produk internet lainnya) bisa dikategorikan sebagai bentuk komunikasi interpersonal. Pesan disampaikan dari satu orang ke orang yang lain.

Namun, karakteristik komunikasi massa klasik akan menempel pada Twitter jika akun tidak diproteksi. Siapa saja bisa mengakses linimasa Anda, bahkan orang-orang yang tidak memiliki akun Twitter sekalipun. Tidak percaya? Coba saja langsung mengakses akun relasi Anda yang tidak diproteksi: http://twitter.com/[nama akun].

Lepas dari perdebatan ini, saya tetap menggunakan konteks komunikasi massa. Kembali pada Individual Differences Theory. Teori yang dikeluarkan oleh Melvin D. Defleur (1970) ini membahas perbedaan-perbedaan di antara individu-individu sebagai sasaran media massa ketika mereka diterpa informasi, sehingga menimbulkan efek tertentu.

Asumsi dari teori ini adalah pesan yang disampaikan media massa ditangkap individu sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan personal individu. Terdapat faktor psikologis yang memengaruhi komunikan dalam menerima pesan. Masing-masing individu tentu mempunyai perhatian, motivasi, dan keinginan yang berbeda sehingga menimbulkan respon yang berbeda-beda pula saat menerima pesan.

Contoh yang paling mudah, tweet #nomention yang berisi tentang perilaku dosen yang menyebalkan, tentu akan disamber oleh teman-teman kampus Anda yang menjadi follower. Tweet #nomention yang berisi tentang kegalauan cinta, tentu cenderung tidak akan disamber oleh follower yang berada dalam lingkaran “stranger”. Dengan demikian, jelas bahwa setiap akun memiliki ketertarikan terhadap isi pesan tertentu sehingga menimbulkan respon (dan kedalaman rasa ingin tahu) yang berbeda-beda pula.

Nah, sebenarnya Anda tanpa sadar  sudah mengetahui topik-topik apa saja yang diminati oleh beberapa follower. Toh, kadang kita sendiri senang menulis kicauan yang mengundang rasa penasaran bagi mereka, bukan? Melihat respon beberapa akun yang kepo justru menjadi hal yang menyenangkan. Tapi, apakah dikepoin itu selalu menyenangkan? Tunggu ulasan saya berikutnya di Serial Kepo Bagian II. Salam Kepo!

gandes,

(sempat menjadi) pelaku sekaligus korban (orang) kepo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline