Berita meninggalnya seorang guru di SMAN 1 Kecamatan Torjun, Sampang, Jawa Timur, bernama Ahmad Budi Cahyono (Pak Budi) yang diduga akibat penganiayaan seorang muridnya mengundang banyak simpati dan keprihatinan. Berbagai ucapan doa dan belasungkawa pun bertaburan menghiasi halaman berbagai media cetak dan lini masa media sosial (on-line).
Di sisi lain bersamaan dengan ramainya ucapan simpati, doa dan belasungkawa dan pemberitaan tentang meninggalnya Pak Budi ini, ada hal atau kejadian lain yang tidak pantas dan cenderung melanggar etika dalam dunia tulis-menulis dan akademis, yang dipertontonkan oleh segelintir oknum guru.
Segelintir oknum guru ini berusaha memancing di air keruh dengan melakukan plagiasi terhadap karya puisi tentang meninggalnya Pak Budi yang berjudul "Muridku, Jangan Kau Ambil Nyawaku" yang merupakan karya penulis sendiri. Tentu saja hal ini mencoreng kewibawaan seorang guru, yang seharusnya berada di garda terdepan untuk memberikan contoh yang baik dan terbaik dengan --salah satunya- menghargai karya dan/hak kekayaan intelektual orang lain.
Kejadian ini berawal dari dibuatnya puisi tersebut oleh penulis dan memuatnya di Kompasiana dan men-share-nya di grup-grup WA dan FB, seperti kebiasaan penulis sebelumnya. Hal ini penulis lakukan tentu saja agar puisi tersebut dapat dinikmati dan diapresiasi oleh masyarakat umum.
Namun setelah beberapa waktu berlalu semenjak di-share-nya puisi ini, saya dapat info dari seorang sahabat FB melalui pesan inbox yang mengabarkan bahwa puisi saya tersebut diplagiat seseorang dengan menyertakan hasil screen shot plagiasi puisi yang dimaksud. Awalnya penulis mengetahui kabar puisi yang diplagiasi ini menyebar hanya di 2 grup guru.
Namun ternyata berdasarkan informasi lain yang terus berkembang yang penulis dapatkan dari beberapa orang teman bahwa plagiasi ini telah menyebar di beberapa grup lain, yang ternyata juga merupakan grup yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Yang menjadi keprihatinan penulis adalah bahwa yang memplagiasi ini adalah seorang guru. Hal ini bisa dilihat dari identitas yang bersangkutan dengan mencantumkan kata guru yang mendampingi namanya.
Sebenarnya ini bukan kali pertama kejadian plagiasi ini menimpa karya puisi penulis. Beberapa waktu lalu dua karya puisi penulis yang berjudul "Bleu, Warna Cintamu" dan "Sepenggal Ucap yang Tertinggal di Masa Lalu" diplagiasi. Lagi-lagi pelakunya adalah seorang guru. Namun akhirnya si pelaku meminta maaf secara langsung melalui private message WA dan Telegram. Sejak saat itu, kasus tersebut penulis nyatakan sudah selesai.
Jika kita merujuk kepada Permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, sudah sangat jelas disebutkan bahwa seorang guru tidak hanya harus memiliki satu kompetensi saja, melainkan empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Dengan dimilikinya keempat kompetensi ini tentu sangatlah jelas bahwa seorang guru diharapkan dapat menjadi sosok yang benar-benar bisa digugu dan ditiru segala ucapan dan tingkah lakunya, baik oleh peserta didiknya maupun oleh masyarakat.
Merujuk kepada Permendiknas tersebut, berkaitan dengan kasus plagiasi ini, guru yang melakukan plagiasi telah mengabaikan dan melanggar nilai-nilai yang terkandung di dalam kompetensi kepribadian. Dengan melakukan plagiasi, seorang guru telah mengabaikan salah satu nilai yang seharusnya dimiliki dalam hal kompetensi kepribadian, yaitu menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
Dua kejadian ini (meninggalnya Pak Budi dan kasus plagiarisme) selayaknya menjadi momentum yang tepat untuk melakukan muhasabah atau refleksi dan introspeksi bagi guru, terutama bagi penulis yang juga merupakan seorang guru, dan sebagai momentum yang tepat bagi semua pihak untuk berkontribusi dalam membenahi dunia pendidikan kita. Guru yang semestinya menjadi kawah candra di muka bagi keberhasilan pendidikan kita tidak malah mencoreng mukanya sendiri dengan melakukan tindakan-tindakan yang tidak pantas dan/atau melanggar etika keguruan. []