Lihat ke Halaman Asli

Penyegeran terhadap Dikotomi Pendidikan, Pendidikan yang Membumi

Diperbarui: 29 Maret 2017   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini disadur dari pemikiran konsep Syed M. Nuqaib Al-Attas, yang memiliki korelasi dengan keadaan dan situasi saat ini, dan kebutuhan pembaharuan disemua ranah dan sektor utamanya perihal pendidikan, sebab dari pendidikan ini yang membentuk pola pemikiran perihal filsafat dan praktek pendidikan, adalah sebuah pemikiran yang membuka pemikiran-pemikiran lanjutan yang lebih membumi dan bersifat mendasar dan fundamental.

Sebuah pemikiran yang bisa memiliki dimensi “keterjagaan” atas kemurnian dan keaslian bagaimana seharusnya pendidikan dipraktekkan bahkan, sampai pada terapan di satuan pendidikan. Dan saya yakin para pemikir intelektual sampai pada praktisi pendidikan semuanya memiliki karakter “keberjuangan” diatas keikhlasan dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep pendidikan yang berpengaruh terhadap bangunan pembaharuan yang sudah saatnya membumi.

Keuniversalan pemikiran mengenai konsep pendidikan selama ini telah menepikan bahkan menafikan manusia-manusia agung sebagai “pusaka” Tuhan, yang telah menjadikan keberkahan Tuhan terhadap kehidupan dan telah meletakkan dasar-dasar kehidupan umat manusia.

Dan tidak satupun dari mereka yang mengklaim telah menemukan gagasan-gagasan utama terhadap prinsip-prinsip moralitas, yang berpengaruh terhadap nasib manusia, yang pada dasarnya tidak akan ditemukan oleh akal pikiran manusia yang tidak dipersiapkan.

Para nabi sudah tentu lebih dari sekedar para pemikir dan apa yang telah mereka ajarkan sangat banyak menyentuk perkara-perkara mendasar yang selama ini menghantui pola pemikiran manusia. Seorang pemikir (yang besar) bukanlah penemu “master idea”. Sebaliknya, ia harus mempu menemukan kembali dan mengafirmasikan sebuah kebenaran yang terlupakan, terabaikan, atau tersalahpahami, dan menerterjemahkannya dalam pelbagai aspek pemikiran dengan cara-cara yang berbeda dan belum pernah dilakukan sebelumnya secara tegas, mantap, istiqamah dan tumakninah, konsisten, walaupun dalam melakukan hal ini ia dikelilingi oleh pelbagai kebodohan dan penolakan.

Karena memang faktanya penolakan ini selalu terjadi. Apalagi saat ranah lahiriyah yang bersifat superfisial yang dihadapkan secara diametral dengan ranah yang batiniyah yang bersifat imanen. Terjadinya dikotomi pendidikan yang telah melekat dalam keterjebakan pemikiran dan praktek-pratek pendidikan.

Pembaharuan konsep islam

Usaha-usaha pembaharuan pemikiran terhadap sistem pendidikan memiliki kecenderungan yang berbeda. Dan paling tidak ada dua tren yang menonjol: pertama, usaha-usaha pembaharuan yang berangkat dari identifikasi penyebab kemunduran umat dari pengamatan terhadap fenomena-fenomena sosial, politik, ekonomi, teknologi, atau fenomena lainnya yang cenderung eksternal; dan kedua, pembaharuan yang bertolak dari pencarian penyebab kemuduran umat secara internal dari pemahaman yang intens serta perenungan yang mendalam mengenai makna kehidupan diterapkan dalam kondisi berbangsa dan bernegara saat ini.

Kedua tren tersebut menghasilkan pemikiran dan strategi dengan tingkat kedalaman dan efektifitasnya masing-masing. Mereka yang mengidentifikasi dari aspek yang bersifat superfisial akan menghasilkan gagasan-gagasan dan langkah-langkah solusi jangka pendek yang mungkin cenderung bersifat taktis. Sedang bagi yang mengkaji aspek-aspek internal yang mendalam akan menghasilkan konsep dan langkah-langkah jangka panjang yang bersifat strategis.

Pelaku praktisi pendidikan yang gagal memahami realitas kehidupan dalam perspektif profan sekaligus sacret akan terjebak pada fenomena praktek keagamaan di masyarakat, lebih dari hal ini memerlukan realitas ajaran islam (kearifan) yang menjadi dasar “anutan” keberagamaan yang mendasar.

Mungkin kita akan berpikir terhadap kondisi saat ini yang kita dihadapakan pada pilihan antara berpikir secara tekstual atau kontekstual; historis atau normatif; atau pada tataran kultural merara disudutkan pada pilihan antara mengadopsi konsep-konsep asing yang dianggap telah mapan, khusunya barat, dan berpegang pada kearifan lokal secara apa adanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline