Lihat ke Halaman Asli

Penghalang yang Sering Tidak Disadari, Hidup Ini Pilihan

Diperbarui: 25 Maret 2017   16:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penghalang yang sering tidak sadari, hidup ini pilihan.

Di dalam Al-Qur’an, 91. Asy syams, 8 Allah telah menyebutkan pilihan bagi kita sebagai manusia penduduk bumi. Allah memberikan pilihan terserah masing-masing “diri” dari kita akan menjadi taqwa atau fasiq.

Kita akan menjadi yang bertaqwa atau kita akan menjadi orang yang fasiq adalah tergantung dari pilihan kita sendiri. Jika kita memilih jalan untuk menjadi orang yang bertaqwa, jiwa kita mesti bersih dari kotoran-kotorannya, barang siapa yang mensucikan dirinya maka itu untuk dirinya sendiri. Allah berfirman, “beruntunglah” orang-orang yang membersihkan jiwa dan merugilah orang-orang yang mengotorinya”.

Kalimat beruntung, adalah diluar kuasa kita, ada Si Pembuat sehingga menjadi berkatagori untung, bukan kuasa kita. Sedang didalam ayat al-Qur’an disebutkan sebagai “aflaha” dari kata “falahun” sedang miflahun adalah petani, dikatakan falahun sebab melakukan pengolahan tanah dan membajaknya, supaya dapat ditanami dan tanahnya supaya lunak dan subur. Dan merugilah orang-orang yang mengotorinya, khobun adalah kaku, keras tidak bisa diolah, tanah yang tidak pernah tersentuh oleh air, sehingga menjadikan tanaman yang ditanam di tanah yang seperti ini akan mati.

Kemudian kita akan memilih yang mana??? Adalah tergantung dari pilihan kita sendiri, memilih untuk memiliki kebahagian, kedamaian dan ketentraman atau memilih kerusakan, kecarutmarutan, amboradul. Kita akan memilih menjadi orang-orang yang rendah hati, sopan, santun, lapang dada, hati terbuka dan nyegoro, berani menerima kekurangan diri dan berani mengakui kelebihan orang lain atau menjadi pribadi yang keras kepala, sombong, arogan, semaunya sendiri, memilih kesenangan-kesenangan dunia dan dengan segala materialnya.

Betapa kemasan-kemasan kesombongan dan arogansi telah dikemas sedemikian lihainya dan begitu cantiknya, sehingga untuk mengetahuinya, apakah kita terjerumus oleh lingkaran nafsu dan syetan membutuhkan perenungan dan kedalaman berfikir untuk keselamatan diri kita sendiri.

Memang selamat dan tidak selamat itu adalah hak setiap individu masing-masing, artinya bahwa meninggal dunia itu yang merasakan adalah diri masing-masing. Dan sesungguhnya kebahagian dan ketentraman itu juga bersifat individu demikian juga arogan dendam, hati panas pikiran keras kepala itu adalah sifat perilaku masing-masing diri. Namun memiliki pengaruh dan berpengaruh sehingga mempengaruhi orang lain, lingkungan dan masyarakatnya.

Dimana antara bahagia dan senang juga sering terjadi jumbuh dan rancu. Jika ada anak kecil yang meminta es krim, dan kita belikan es krim maka dia senang, (kebahagiannya) adalah saat senang tersebut. Jika kesenangan yang seperti ini dianggap bahagia, maka batas waktunya adalah seumur es krim tersebut. Padahal kebahagian itu bersifat batini, bersifat kedalam, bersifat mikrokismis, individu.

Kebahagian letaknya didalam hati sedang kesenangan bersifat lahiri. Jika kebahagian diletakkan pada hal yang besifat lahiriyah, diukur dari yang tampak dan lahir semata, maka tidak akan pernah dapat dipenuhi, sebab karakter watak manusia selalu kurang, tidak akan pernah terpuaskan.

Saya kembali ke paragraf ke lima, sesungguhnya penghalang seseorang untuk mencapai kebenaran kebahagian dan hakekat-hakekatnya, kita ini mesti merogoh, menyelami kedalamannya. Yang disebut manusia itu apa?? Bagaimana kita memahaminya, apakah manusia didefinisikan sebagai seonggok tubuh, organ, dan otak-pikiran, hayawanu natiq, hewan yang berpikir. Atau kita akan memahami kedalamannya, bahwa manusia itu intinya adalah apa yang berada didalam hatinya. sebab, definisi manusia yang kita anut dan kita fahami kemudian dijadikan sebagai pegangan ITU AKAN SANGAT MENENTUKAN perilaku serta karakter yang akan kita buat dan sikap yang akan kita ambil, yang akan berpengaruh langsung terhadap perilaku sosial-kemasyarakatan. Memanusiakan manusia atau menghewankan manusia tergantung diri kita sendiri-sendiri.

Dibutuhkan tidak hanya kepandaian untuk bisa memahami hal-hal tersebut, tetapi juga kerendahan hati, lapang dada, “nyegoro” pikiran jernih, dan jauh dari watak arogansi dan kesombongan. Ketaqwaan berada didalam pengendalian diri.

Arogansi dan kesombongan sering dibungkus oleh hal-hal yang bersifat material; pakaian, sorban, sajadah, gedung megah nan mewah, tempat-tempat ibadah. Arogansi dan kesombongan juga sering dibungkus oleh perilaku dan perkataan bahkan dengan perilaku ibadah ritual, kesombongan juga sering dibungkus oleh intelektual, kepandaian.

Kerendahan, keagungan, kemulian, kesucian tidaklah diukur oleh hal-hal diatas, kita boleh berjas rapi, namun tidak meninggalkan kerendahan dan ketulusan hati, kita boleh berjubah dan bersorban namun tidak menghalangi untuk menerima masukan, usulan, dan pengakuan kelebihan pada orang lain serta kesadaran hamba dan kepedulian. Kita boleh banyak memiliki ilmu dan bergelar setinggi langit, namun tidak menutup diri belajar dari siapapun, walau gelandangan tanpa pendidikan sekalipun. Semua simbol-simbol dunia apapun itu sesungguhnya dilakukan hanya untuk memudahkan identifikasi dan mudah untuk dikenali.

Sama sekali tidak untuk menjadikan “kebanggaan” arogansi, dan kesombongan diri, juga apalagi menjadikan tertutup dari perkembangan spiritualitas diri karena merasa diri lebih dari orang lain, jika ada orang yang hanya berpakaian ala kadarnya, bahkan berpakaian lusuh, sama sekali tidak menjadi tolok ukur dalam keprasangkaan dan tidak merasa lebih mulia saat ada orang yang berpakaian lusuh tersebut, tetap berani menerima bahkan kritik (walau nyatanya kritik adalah berat untuk diterima siapa saja) walau saat berjas, berani belajar dengan kerendahan hati dan pikiran terbuka walau telah dikenal sebagai ulama, ilmuan dan intelektual.

Sikap-sikap dan perilaku-perilaku arogansi dan kesombongan, merasa lebih, merasa tinggi sering tampak dari perilaku-perilaku, keturunan keluarga, kelompok, golongan, politiknya, keyakinan dan agamanya. Bangga terhadap kelompoknya, bangga terhadap keluarganya dan nenek moyangnya, bangga terhadap keyakinannya, bangga terhadap agamanya......boleh...silahkan!!!, namun tidak selayaknya dan tidak pada tempatnya jika, kebanggaan-kebanggaan itu dijadikan sebagai perilaku, watak dan karakter menjadi ego, arogansi dan sombong, sehingga menutup dan tertutup dari melihat secercah cahaya terang yang akan menerangi hidup dan kehidupan.

Tulisan ini dibuat, dimaksudkan untuk pembelajaran kami sendiri yang menyadari sebagai manusia tempatnya salah dan dosa.

https://www.youtube.com/watch?v=LXbiqad4CjI&t=74s

https://www.youtube.com/watch?v=C0yGaBi-gOE&t=5s

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline