Lihat ke Halaman Asli

Kenapa Faisal, Bukan Jokowi

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Tulisan ini ditujukan buat mereka yang menginginkan perubahan Jakarta yang lebih manusiawi dan masih bimbang antara 2 pilihan cagub : Faisal Basri atau Jokowi. Tentu ini tidak berlaku untuk pendukung fanatik Hidayat maupun pendukung Foke, tetapi ikut menyimak silakan saja.

Banyak orang yang sehari-hari tidak minat politik tetapi menaruh harapan pada gubernur yang baru (jelas ini mereka tidak akan memilih Foke) akan mampu membuat kota Jakarta ini lebih manusiawi, tidak macet, tidak kotor, dstnya. Umumnya mereka bimbang antara memilih Faisal Biem ataukah Jokowi-Basuki.

Ketika teman-teman bertanya , jawabku jelas : pilih Faisal Biem. Kenapa? Istilahnya kalau lagi belanja : beli satu dapat dua.

Kedua tokoh ini (Faisal dan Jokowi) sama baiknya dan memberikan harapan untuk perubahan. Publik pasti mengenal Faisal Basri sebagai tokoh yang anti korupsi, jujur, tegas dan tidak bisa dibeli. Ini modal kuat untuk memimpin Jakarta dan membersihkan dari praktek-praktek korupsi, kolusi antara pemerintah dan pengusaha. Sementara Jokowi, adalah walikota Solo yang dianggap berhasil dengan pendekatan-pendekatannya yang berbeda pada warga.

Bagaimana kalau Jokowi terpilih? Kita bisa berharap Jokowi dapat melakukan perubahan di Jakarta, mengingat kesuksesan di Solo. Tetapi tidak semudah itu. Aku menduga Jokowi butuh waktu paling tidak 2 tahun (dengan asumsi 2 kali APBD)  di masa awal jabatannya untuk bisa melawan mafia-mafia di Jakarta. Harus diakui, Jakarta jauh lebih kompleks dari Solo, terutama soal mafia atau persengkongkolan  aparat dan pengusaha.

Belum lagi Jokowi mesti menghadapi tagihan-tagihan hutang politik dari partai pendukungnya PDIP dan Gerindra. Di Solo , pendukung Jokowi hanya satu partai mayoritas di DPRD yaitu PDIP. Di Jakarta, PDIP bukan partai mayoritas, kursinya di DPRD hanya 11, sedangkan Gerindra hanya 6 dari total 94 kursi DPRD. Jadi seandainya Jokowi jadi Gubernur, dukungan partainya di DPRD adalah kecil.

Singkatnya , Jokowi mungkin bisa melakukan perubahan di Jakarta, tapi butuh waktu adaptasi, dan menghadapi  perilaku partai politik tetap saja suka nagih-nagih, korupsi dan kolusi.  Terlebih lagi jelang 2014, Prabowo akan maju sebagai Presiden, dukungan dari  Jokowi pasti akan diminta.

Bagaimana jika Faisal? Jika Faisal menjadi Gubernur Jakarta, tidak hanya mengubah Jakarta jadi lebih manusiawi  tetapi juga kemenangan independen akan memberi ‘tamparan politik’ atau peringatan kepada partai politik. Jika partai politik tidak mengubah perilakunya yang korupsi dan kolusi, maka di banyak daerah akan bermunculan calon independen yang digerakkan oleh warga. Alias partai politik tidak laku. Ketika gerakan independen ini menguat, maka lazimnya partai akan memperbaiki diri, menjadi organisasi politik yang menyuarakan aspirasi rakyat. Inilah yang aku sebut beli satu dapat dua. Pilih Faisal Biem, akan membuat Jakarta lebih baik sekaligus memberi koreksi pada partai politik secara nasional.

Kenapa Faisal Biem mampu mengubah Jakarta sejak di  tahun pertama? Jawabannya sederhana, Faisal Basri maupun Biem Benjamin adalah orang yang sudah lama tinggal di Jakarta dan mengenal betul perilaku-perilaku kolutif dari pengusaha maupun birokrasi. Faisal Basri pernah menjadi anggota di  Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2000-2005) dan Biem Benjamin adalah mantan DPD wakil dari Jakarta periode 2004-2009. Tipu muslihat para mafia di Jakarta, mereka sudah paham. Dan lebih penting lagi, Faisal Biem ini tidak punya hutang politik pada partai, maka tidak akan ada pengurus partai yang datang merengek-rengek minta proyek atau dukungan untuk capres 2014.

Memang ada yang bertanya, kalau independen bagaimana menghadapi DPRD? Ini sebenarnya mudah, jika kita memahami sistem politik lokal. Peranan DPRD tidak sebesar DPR yang sering kita tonton di televisi – dengan galaknya mencecar Menteri. Peran terbesar DPRD  hanya pada persetujuan anggaran RAPBD dan jika ada rancangan Perda yang diajukan. Mestinya anggota DPRD sekarang agak was-was bila mau mempersulit sebuah rancangan dengan motif minta dana. Ingat kasus Walikota Semarang yang ditahan KPK karena menyogok DPRD agar meloloskan RAPBD. Sejauh rancangan APBD dan perda pro warga, rasanya DPRD tidak akan mempersulit, karena mereka juga butuh simpati dari warga demi terpilih lagi nanti 2014. Dan bila sebuah rancangan APBD tidak setujui DPRD, maka yang berlaku adalah APBD tahun sebelumnya (sesuai UU). Bahkan posisi Faisal Biem yang independen akan lebih memudahkan berkomunikasi dengan partai-partai politik yang ada, dibandingkan Jokowi Basuki yang sudah ada cap PDIP – Gerindra.

Tentu apa yang aku paparkan di atas adalah pertimbangan-pertimbangan rasional-subyektif. Silakan dijadikan pertimbangan teman-teman yang masih bimbang antara Faisal Biem atau Jokowi-Basuki. Selamat memilih , 11 Juli 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline