Tjiptadinata Effendi nama lengkapnya. Pak Tjip panggilan akrabnya. Tujuh puluh tiga tahun usianya. Anda kenal dia?
Kompasianer mana yang tak kenal lelaki tua ini? Jika ada kompasianer yang tak mengenal sosok Pak Tjip, boleh jadi ia adalah kompasianer kurang gaul. Hahaha....itulah pancingan yang dilontarkan Pak Thamrin Sonata alias Pak TS, "bos" Kutu Buku. Lewat gaya candanya Pak TS mencoba memancing para kompasianer agar berani menulis artikel tentang Pak Tjip. Tak tanggung-tanggung. Tulisan tentang Pak Tjip bahkan juga dilombakan. Langkah tersebut sebagai bentuk apresiasi atas capaian prestasi yang diraih oleh Kompasianer of The Year 2014 ini.
Tidak berlebihan apa yang dikatakan oleh Pak TS. Lha, Pak Tjipta memang bukan sosok asing kok di Kompasiana. Kalau tak percaya, ya sering-sering saja kunjungi Kompasiana. Pasti di sana akan ketemu Pak Tjip. Beliau setiap hari hadir lewat tulisan yang beragam topiknya. Dari yang ringan sampai yang cukup serius. Semuanya menarik untuk dilirik. Tulisan Pak Tjip laksana santapan lezat yang layak dinikmati oleh siapa pun.
Berhubung saya sebagai kompasianer juga tak mau dibilang kurang gaul, dan karena kebetulan saya juga mengenal beliau (meski hanya di dunia maya) maka saya juga mencoba membuat ulasan tentang tokoh yang satu ini. Latah ingin ikut lomba? Ah, enggak dong! Cari sensasi dan sok kenal dengan orang terkenal? Ya apalagi ini, jelas juga tidak! Pak Tjip memang orang terkenal. Tapi saya tak bermaksud sok kenal. Sebab saya sudah berkenalan dengan beliau di Kompasiana. Sah kan?
Dalam usianya yang tak lagi muda, Pak Tjip memang merupakan sosok yang luar biasa. Biasanya kaum yang sudah tergolong lansia (Pak Tjip sudah termasuk golongan ini) lebih suka menikmati masa senjanya dengan aktivitas yang ringan-ringan dan tak menguras tenaga. Tapi rupanya ini tidak berlaku bagi Pak Tjipta. Beliau justru masih super aktif berkarya. Menulis artikel setiap hari. Berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada banyak orang. Bahkan masih sanggup berkeliling dunia bersama istri tercinta.
Semangatnya untuk berbagi kepada sesama lewat karya pemikirannya tetap bergelora. Itu ia buktikan lewat kehadirannya di Kompasiana. Juga lewat buku-buku yang telah banyak ditulisnya. Salah satu buku yang beliau tulis adalah Beranda Rasa sudah saya baca tuntas. Saya juga sudah buat resensinya. Sangat menarik apa yang beliau bagikan dalam buku itu.
Menggambarkan pribadi Pak Tjipta mungkin tak cukup dengan kata-kata. Saya sendiri, walaupun tak mengenal beliau secara langung merasa terkesan dengan pribadinya. Pak Tjip adalah teman dan sahabat saya di Kompasiana. Saya lupa kapan pertama kali berkenalan dengan beliau. Yang jelas dalam perjalanan waktu, sebagai sesama kompasianer saya sering menjalin relasi dengan beliau. Sering saya ikuti tulisannya. Kadang saya tinggalkan jejak berupa vote ataupun komentar pada tulisan beliau. Dan pada gilirannya, Pak Tjip juga suka membaca tulisan saya. Beliau pun gantian meninggalkan jejak vote maupun komentar. Jadilah kami berbalas komentar.
Inilah bentuk silaturahmu yang kami lakukan. Penuh keakraban, tapi juga penuh penghormatan. Saya katakan penuh keakraban karena Pak Tjip selalu menyapa saya dengan sapaan yang khas. Karena beliau tahu bahwa saya seorang pendidik, maka beliau biasa menyapa saya dengan sebutan "ibu guru yang baik". Hehehe....jadi tersanjung deh. Selain akrab juga ada rasa hormat. Bahasa Pak Tjip kala membalas komentar selalu santun dan penuh kehangatan. Layaknya seorang bapak menyapa anak.
Teman-teman kompasianer lainnya, mungkin pernah mengadakan perjumpaan secara langsung dengan beliau. Entah itu lewat ajang kopi darat secara pribadi ataupun ajang Kompasianival. Saya terus terang belum punya kesempatan berjumpa dengan beliau. Tapi meski perjumpaan kami hanya lewat tulisan, bukan berarti saya tak punya kesan tentang beliau. Melihat keaktifannya dalam berkarya saya lebih suka menyebut figur bapak sepuh ini sebagai "Sumur Bening yang Tak Pernah Kering".
Mengapa sumur bening? Yah, sumur bening artinya sumber atau mata air yang selalu memancarkan air jernih. Figur Pak Tjip cocok dengan gambaran ini. Dalam dirinya yang sarat pengalaman hidup, dan kaya pengetahuan terkandung energi positif yang terus mengalir. Energi positif ini siap dibagikannya kepada siapa pun yang membutuhkan. Saya kadang iri campur heran, kok Pak Tjip tak pernah kehabisan ide dan semangat untuk menulis. Lha saya yang lebih muda saja gampang patah semangat. Idenya juga kadang mampet. Nah, tapi itulah bedanya Pak Tjip dengan saya. Hehehe....jauh ya?
Sumur bening yang tak pernah kering. Apa maksudnya? Karya-karya Pak Tjip terus mengalir setiap hari tiada henti. Beliau telah membuktikan janji dan niatnya untuk terus menulis. Slogan "One Day One Article" bukanlah slogan kosong. Lagi-lagi saya yang lebih muda tak mampu (atau tak mau? ) bersaing dengan beliau. Wuuah.... saya sih cuma menulis kalau lagi mood (repotnya lebih sering merasa tidak mood).