Pernahkah tidak sih Anda membayangkan seandainya Kartini masih hidup pada saat ini? Kartini yang saya maksud adalah Raden Ajeng Kartini yang hari kelahirannya selalu diperingati setiap tanggal 21 April. Ia adalah sosok gadis Jawa yang merupakan keturunan bangsawan. Ayahnya bernama RM. Sosroningrat adalah seorang bupati Jepara. Apa yang bakal terjadi seandainya Kartini masih hidup di jaman sekarang? Bisa ditebak deh, pasti Kartini juga mengenal budaya gadget dan medsos. Bisa jadi ia akan punya banyak akun di media sosial, mengingat minatnya yang tinggi pada dunia korespondensi. Pasti ia pun punya banyak sahabat di dunia maya, sahabat yang akan ia ajak bertukar pikiran dengannya.
Tapi Kartini memang tidak dilahirkan pada abad kini. Ia lahir lebih dari seabad lalu. Andai masih hidup, usia Kartini saat ini adalah 137 tahun. Ini kurang lebih setara dengan usia kakek nenek buyut saya (andai beliau juga masih ada). Meski Kartini hidup lebih dari seabad lalu, tapi pemikiran Kartini tetap relevan dengan kondisi jaman sekarang. Kalau melihat pemikiran Kartini yang tertuang dalam buku kumpulan suratnya Habis Gelap Terbitlah Terang, tampak bahwa Kartini punya pemikiran yang melampaui jamannya.
Pada surat-surat yang ia kirimkan pada sahabat-sahabatnya di Eropa, Kartini banyak menyuarakan keprihatinannya. Terutama yang menyangkut nasib kaumnya. Dalam usianya yang relatif sangat muda saat itu, ia mampu melihat kondisi yang tidak adil. Kartini merasakan betapa kuatnya diskriminasi terhadap kaum perempuan yang dilakukan oleh masyarakat. Adat Jawa yang memberlakukan pingitan terhadap para gadis yang mulai menginjak masa remaja sungguh mengusik batinnya. Belum lagi soal minimnya akses perempuan di bidang pendidikan, dan sebagainya. Hal-hal inilah yang ia suarakan lewat surat kepada teman-temannya.
Dari surat-suratnya pula, tampak besarnya perhatian dan minat Kartini terhadap masalah pendidikan dan emansipasi. Meski Kartini tak memiliki latar pendidikan yang tinggi. namun kefasihannya berbahasa Belanda membuat wawasannya jadi luas. Ia membaca buku-buku berbahasa Belanda. Ia juga banyak berkorespondensi dengan sahabat-sahabatnya di Eropa, antara lain Estella H Zeehandelaar, Nyonya Ovink Soer, Ny. RM. Abendanon, dan Nyonya Hilda G de Booij. Dari sini tampaklah bahwa Kartini punya pemikiran yang besar, sehingga layaklah kalau pada akhirnya ia memperoleh penghargaan sebagai tokoh emansipasi perempuan.
Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah jika Kartini memang dihargai sebagai tokoh besar, yang hari kelahirannya diperingati secara nasional, yang mendapat gelar pahlawan, bagaimanakah cara yang tepat untuk meneruskan perjuangannya? Bagaimana cara yang layak untuk mengenang jasanya dan menerjemahkan pemikirannya? Cukupkah jika peringatan Hari Kartini hanya diisi dengan lomba mengenakan kebaya dan konde? Tepatkah Hari Kartini diisi dengan kegiatan menghias tumpeng atau masak-memasak? Lho, dimana relevansinya?
Jika Kartini yang jaman dulu tak mengenal gadget dan media sosial tapi mampu menyuarakan keprihatinan kaumnya pada orang luar, mengapa kita yang menikmati budaya gadget dan media sosial tak memanfaatkan sarana ini untuk menyuarakan keprihatinan masyarakat atau mengungkapkan gagasan-gagasan yang bermanfaat seperti halnya Kartini. Padahal ada begitu banyak persoalan yang masih membelit kaum perempuan. Sebutlah masalah kesehatan ibu, masalah pendidikan, masih adanya kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada kaum perempuan, belum maksimalnya peran perempuan di ranah publik apalagi politik, kekerasan terhadap kaum perempuan, dan masih banyak lagi. Mengapa kita tak mencoba membukakan wawasan diri. Mengapa kita lebih banyak hanya terbuai dengan kesenangan curhat di medsos yang sifatnya dangkal dan personal ?
Melalui tulisan singkat dan sederhana ini, saya ingin mengajak siapa pun, utamanya kaum perempuan agar lebih mampu menghargai dan menerjemahkan pemikiran para pendahulu kita dengan cara yang layak dan tepat. Bukan lagi waktunya peringatan Hari Kartini cuma dihiasi dengan kebaya dan konde. Bukan berarti saya anti kebaya atau konde. Berbusana kebaya dan konde bukan hal yang salah atau buruk. Tapi bila setiap memperingati Hari Kartini hanya diisi dengan acara seperti itu rasanya kita jadi mendangkalkan pemikiran-pemikiran besar yang dimiliki Kartini waktu itu. Saya juga sulit menemukan relevansi antara pemikiran Kartini tentang emansipasi dengan penggunaan pakaian nasional ini. Jadi bagaimana harusnya? Ya, ayo dong move on !
Tasikmalaya, 18 April 2016
Menjelang Peringatan Hari Kartini