Lihat ke Halaman Asli

Iwan Setiawan Menuju World Latte Art Championship 2014

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latte art bukan sekadar seni menuang buih susu ke dalam kopi. Dibutuhkan pengetahuan yang sempurna mengenai teknik kebaristaan dan latihan yang dilakukan terus-menerus,” demikian papar Iwan Setiawan saat ditemui di Common Grounds Coffee, Citywalk, Sudirman (12/4).

Iwan Setiawan: Sang Juara Seni Lukis Kopi Susu

Nama Iwan Setiawan (33) atau lebih dikenal dengan Johni atau kadang dipanggil Bang John, mendadak menjadi sorotan publik pecinta kopi di Indonesia setelah ia berhasil menyabet gelar sebagai juara Indonesia Latte Art Championship (ILAC) 2014. ILAC 2014 merupakan kejuaran yang ditujukan untuk mengasah kebolehan para pecinta kopi dan barista di Indonesia dalam memadukan seni dan keterampilan dalam membuat latte art yang diselenggarakan oleh Asosiasi Kopi Spesial Indonesia—populer disebut SCAI (Specialty Coffee Association of Indonesia)—di Nusa Dua Convention Center, Bali, 6-8 Maret 2014. Pada kejuaraan ILAC yang pertama kali diadakan oleh SCAI ini, setiap peserta mengunggah video aksi mereka di YouTube. Lalu, pihak panitia akan melakukan seleksi berdasarkan video terunggah. Dari 75 peserta yang diterima oleh penyelenggara, sebanyak 24 peserta dipilih untuk mengikuti babak eliminasi di Bali. Lima di antaranya adalah barista dari Pandava Coffee, termasuk Iwan. Selanjutnya dari 24 orang yang terpilih tersebut disaring kembali menjadi 6 orang pada babak eliminasi berikutnya. Enam peserta yang memiliki skor tertinggi tersebut adalah: 1) Iwan mewakili Pandava Coffee; 2) Aga dari Tanamera Coffee; 3) Vicky Rahardja dari Warung Kopi Sruput; 4) Arief Rachman dari My Coffee O!; 5) Iqbal dari Noah’s Barn; dan 6) Mimi dari Anomali. Di babak final, tiap peserta diberi waktu selama 5 menit untuk melakukan persiapan, meliputi pengaturan grinder dan mesin yang telah disediakan panitia. Selanjutnya, dalam waktu selama 6 menit, setiap peserta membuat 4 cangkir latte yang terdiri dari 2 cangkir free-pour latte yang identik dan 2 cangkir pattern latte yang identik dari tiap pattern yang mereka ajukan kepada dewan juri. Iwan memenangkan perlombaan ini dengan total skor 322. Sebagai juara, Iwan berhak membawa pulang uang tunai sebesar 5 juta rupiah, trofi, piagam, seperangkat alat kopi (syphon, dripper, hand grinder, french press, dan server), barista kit, voucher untuk di Bali, dan cangkir keramik. Selain itu, ia akan diterbangkan ke Melbourne mewakili Indonesia dalam World Latte Art Championship (WLAC) 2014 yang akan berlangsung pada 15-18 Mei.

*****

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Hasil Latte Art Iwan Setiawan | Foto dari Twitter Iwan Setiawan"]

Hasil latte art dan trofi

[/caption] Bagi pria kelahiran Bogor 33 tahun silam ini, menjadi juara ILAC 2014 itu memiliki rasa kebanggaan tersendiri. Upaya dalam mengakrabi mesin espresso dan grinder selama lebih-kurang 11 tahun berbuah hasil. Perjalanan karier kebaristaan Iwan tidak berlangsung mulus. Ia mengawali karier kebaristaannya pada 2003 di sebuah kedai kopi di pusat Kota Jakarta. Lalu, Iwan berpindah-pindah dari satu kafe ke kafe yang lain. Ia sempat berhenti sejenak, membuka bengkel motor dan menjadi anak pecinta alam. “Saya berhenti [kerja jadi barista], kemudian ngebengkel itu sebentar. Balik lagi ke restoran. Balik lagi ke kopi. Jalannya memang sudah ketemu di situ”, kenang Iwan yang setiap harinya menjadi barista di Common Grounds Coffee. Menurut Iwan yang perlu dilakukan agar piawai dalam membuat latte art adalah latihan, latihan, dan latihan. Tapi, sebelum memadukan seni dan keterampilan menuang susu ke dalam kopi, Iwan menekankan bahwa memahami teknik kebaristaan adalah yang utama. “Dalam kopi, latte art itu nomor sekian. Yang penting belajar teknik dan taste kopi. Kalau dibuat latte, kopi yang cocok seperti apa, baru bentuknya. Misalnya espressonya belum betul, kalau belum bisa mengerti espresso untuk latte art seperti apa, belum mengerti steaming susu (menghaluskan foam), ini nggak bakal jadi. Dalam melakukan steaming, kalau masih belum konsisten, terkadang masih terlalu encer atau terlalu tebal, berarti harus belajar lagi. Intinya, kita bisa karena biasa”, jelasnya. Saat ditanya tentang kesiapan mengikuti WLAC, secara personal Iwan telah melakukan persiapan yang lumayan keras. Selain menyiapkan mental dan pattern yang akan ia buat di Melbourne, Iwan juga telah membuat skrip agar saat melakukan presentasi nanti menjadi lebih mudah dan jelas. Dalam melakukan persiapan Iwan tidak sendirian. “Selain melakukan persiapan pribadi, saya juga mendapat masukan dari para juri ILAC tentang teknik, eksplanasi, serta hospitality. Begitu halnya dengan kafe [tempat saya bekerja], mereka juga menyuport segala kebutuhan saya untuk mengikuti kompetisi WLAC nanti. Saat ini saya sudah tidak bisa ke mana-mana, sudah mulai sibuk kerja dan latihan,” terangnya. Iwan menyadari bahwa skor yang ia peroleh dalam ILAC 2014 kemarin masih jauh jika dibandingkan dengan nilai-nilai latte art di dunia. Karena itu, ia tidak ingin terlalu berekspektasi tinggi dalam ajang WLAC nanti. “Saat ini, saya juga belum mencoba menggunakan mesin yang nanti akan digunakan di Melbourne. Saya hanya mendapat informasi mesin, grinder, dan susu yang nanti akan digunakan dalam kompetisi tersebut. Mesin espressonya Dalla Corte, grinder-nya Mahlkonig. Susu Pura yang nanti digunakan untuk membuat latte art di Melbourne masih belum datang. Padahal semua itu yang sangat saya butuhkan. Jadi saya tak memasang target yang muluk-muluk, minimal ngalahin yang sebelah dulu,” tuturnya.

"Dalam kopi, latte art itu nomor sekian. Yang penting belajar teknik dan taste kopi. Kalau dibuat latte kopi yang cocok seperti apa, baru bentuknya."

Dalam WLAC nanti, Iwan dan peserta dari berbagai negara akan mengikuti dua putaran kompetisi yang diuji oleh juri yang berbeda pada tiap putarannya. Pada babak Art Bar, peserta diberi waktu 5 menit untuk mengakrabkan diri dengan mesin dan grinder, selanjutnya diberikan waktu 10 menit untuk menghasilkan satu cangkir latte art yang akan dinilai oleh oleh 4 juri visual. Pada tahap kedua, peserta akan dinilai oleh 4 juri yang terdiri dari 2 juri visual, 1 juri teknis, dan 1 kepala juri. Pada taha tahap kedua ini, perserta dipinta menyajikan 4 cangkir latte dalam waktu 6 menit. Peserta yang lolos hingga putaran final harus mempresentasikan kreasinya di hadapan juri yang sama dengan juri sebelumnya. Para finalis membuat 6 cangkir yang terdiri dari 4 cangkir latte dan 2 cangkir macchiato dalam waktu 8 menit. Setiap juri dalam kejuaraan tersebut merupakan juri-juri yang telah tersertifikasi sebagai Certified WBC Judge oleh World Coffee Events. Selamat berjuang dan semoga sukses, Bang John! ____________________________________________ Artikel ini merupakan reportase yang saya lakukan untuk media online bersifat kolaboratif yang didedikasikan khusus untuk melakukan pendokumentasian dan membangun jaringan pertukaran informasi, pengetahuan, dan pengalaman banyak orang terkait kopi. Indonesia yang secara kultural sebagai penghasil kopi memiliki kekayaan tradisi mengenai aktivitas meminum kopi. Baca juga: Nyeduh Kopi Pake Smartphone

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline