Lihat ke Halaman Asli

Menulis Itu Menyenangkan

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menulis adalah pekerjaan yang paling menyenangkan. Waktu ku kecil dulu, saat sekolah di bangku sekolah dasar ketika musim liburan tiba, maka para siswa mendapatkan tugas mengarang dari bu guru bahasa indonesia. Ada saja yang dikarang oleh teman-teman, seperti berkebun di rumah paman, menikmati suasana pedesaan yang jauh dari hirukpikuk kota serta yang lainnya. Bahkan saat kami para siswa bertandang ke kebun binatang, kami semacam diwajibkan untuk membuat sejenis laporan pandangan mata atas apa yang kami lihat di kebun binatang tersebut.

Bagiku, menulis bukanlah pekerjaan yang sulit, meski juga tak bisa dibilang gampang. Ia berada diantara sulit dan gampang itu sendiri. Mau disebut sulit tapi terasa gampang juga, mau dibilang gampang nyatanya rada sulit pula. Jadi boleh dikata menulis adalah pekerjaan yang sulit-sulit gampang meski terkadang sering pula justru gampang-gampang sulit.

Apa yang membuat seseorang menjadi penulis? Bisa jadi ingin menyatakan sesuatu melalui tulisannya. Sebagaimana yang lazim dilakukan oleh para penulis tembok serta ruang kosong di bis kota misalnya. Sebuah tulisan pendek ‘anu cinta pada una’ misalnya, cukup membuat orang yang membacanya lantas bergairah untuk bertanya minimal berkerut kening dalam ekspresi tanya, “siapa itu anu dan siapa dia una?”

Menulis adalah perbuatan yang menyenangkan. Sengaja saya memakai istilah perbuatan dan bukannya pekerjaan, agar kita tak terlalu berat memahami proses menulis itu sendiri. Disebut sebagai perbuatan, karena ada sesuatu yang kita lakukan dalam berbuat untuk sebuah tulisan. Dan bagi saya berbuat senantiasa lebih sederhana dari bekerja misalnya. Meski sebetulnya keduanya mirip-mirip juga.

Lantas apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi penulis? Pertama tentu saja niat. Setelah niat dicanangkan, hal berikutnya yang musti dilakukan adalah mewujudkan yang telah diniatkan tadi. Kita bisa memulai dengan hal sederhana yaitu membuat sebuah kalimat. Kalau satu kalimat dianggap sebagai suatu yang memberatkan, bolehlah dimulai dengan satu kata. Namun menurut pengalaman, kalimat terbentuk bukanlah semata sebagai jajaran kata-kata. Jadi menurut saya lebih efektif jika kita memulainya dengan sebuah kalimat. Kalimat apa saja dan kelak bisa saja kalimat tersebut menjadi bagian akhir dari tulisan kita. Ingat, kita tidak sedang membuat kalimat pertama dari serangkaian alinea yang kelak akan membentuk karangan. Yang kita lakukan adalah menemukan kalimat sebagai modal dasar untuk membuat tulisan kita menjadi sebuah karangan yang hidup.

Sebagai contoh adalah tulisan dibawah ini:

In Memoriam Teater Nol Yogyakarta (7 Mei 1988-September 1992)

Karya Catur Stanis

Sore yang cerah di halaman SMP 2 Condongcatur (yang sekarang menjadi SLTPN 2 Depok), nampak duduk-duduk santai di teritisan depan kelas, Catur Nugroho, Bayu Prakoso, Bobby Ardyanto, Budi Purwoko dan Endro serta Risa Subandono. Mereka kebanyakan masih menempuh pendidikan setingkat SMP kecuali Catur Nugroho yang baru saja lulus dari SMA dan menunggu pengumuman SIPENMARU (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) yang akan diumumkan sekitar bulan Juli menjelang tahun ajaran baru. Mereka berenam tengah merancang untuk membangun sebuah komunitas teater yang beranggotakan anak muda seputar RT 07 dan 08 RW XIII Perumnas Condongcatur. Pada mulanya hanyalah semacam wadah untuk menggali bakat-bakat terpendam dibidang seni khususnya teater. Pada perkembangannya menjadi semacam laboratorium olah kreativitas dan anggotanya pun bertambah dengan masuknya Toni Kiswantoro, Budi Santosa serta Yuleo Krisdono Wahyu. Bahkan kelak akan turut mewarnai pertunjukan mereka adalah Theo Magiri, Iman Santosa, Walgito serta Julia Asta Dewi.

Akhirnya nama NOL dipilih karena mereka senantiasa merasa nol dalam pengenalan berteater kecuali Catur nan Stanis itu yang telah mengenyam kehidupan sanggar teater bersama teater Klithik pimpinan Cornell Sumedi di kampung Notoyudan Yogyakarta dan 7 Mei 1988 (satu bulan sebelum secara resmi Catur Stanis diterima sebagai warga sah jurusan teater ISI Yogyakarta pada 11 Juni 1988 atau lima tahun setelah peristiwa Gerhana Matahari Total ditahun 1983) adalah tumpengan untuk menandai hari lahirnya jabang bayi Nol yang kelak dikemudian hari akan menjadi Kayon dan lantas membubarkan diri dengan sempurna ditahun 1992.

Teater Nol Yogyakarta yang punya tag line,”Jika diam adalah puncak segala gerak dan kosong itu padat berisi maka NOL adalah bilangan yang tak terhingga” dengan Catur Nugroho sure name dari Stanis sebagai pembina sekaligus pendiri serta kelak dikemudian hari sebagai orang yang paling bertanggung jawab bagi bubarnya teater ini.

Markas tempat berkumpulnya kawan-kawan Teater Nol adalah sebuah kamar di jalan menur 3/56 Perumnas Condongcatur yang ndilalahnya memang rumah dari sang pemrakarsa berdirinya Teater Nol Yogyakarta. Kamar itu juga menjadi pusat aktivitas sekaligus ruang pembelajaran bagi kawankawan Teater Nol. Ada setumpukan kliping koran serta majalah, buku-buku cerita, komik serta bahan bacaan lainnya yang dijadikan bahan rujukan diskusi serta juga disewakan untuk menambah kas teater dan tak ketinggalan berbagai perangkat pendukung pentas serta bahan majalah dinding. Dari berkumpul, bermain dan bercanda itulah kemudian lahir karya-karya seperti “Burung Kromo”, “Super Market”,”Gerak dan Wagu” serta banyak lagi yang tak tercatat dalam ingat. Di kamar yang sama dipakai sebagai Studio Radio wireless Voice of Conthong serta kantor redaksi Mading Info.

Senin dan Kamis sore ba’da ashar adalah hari latian Teater Nol di halaman SMPN 2 Condongcatur. Dimana sang pemrakarsa berdirinya teater ini adalah salah satu alumninya. Latian rutin yang dilakukan penuh kegembiraan dan keikhlasan itu membuahkan tawaran pentas demi pentas di ajang ta’jilan menunggu buka puasa, pentas usai shalat tarawih di bulan ramadhan, serta perpisahan SD Perumnas serta pentas besar tahunan memperingati Ultah Republik Indonesia di panggung pitulasan.

.“Ninja VS Gatotkaca” adalah pentas perdana Teater Nol di acara pentas seni Ramadhan di kampungnya di Condongcatur. Meski beberapa penonton cukup bingung untuk mengidentifikasikannya sebagai teater atau lawak. Tapi begitulah, drama komedi senantiasa menjadi ‘jualan’ yang laris manis di perhelatan kampung seperti tujuhbelasan dan semacamnya. Sampai akhirnya khalayak mengenal Teater Nol sebagai sekumpulan komedian muda di kampungnya. Selebritis Pitulasan yang kemudian berturut-turut melahirkan karya seperti “Teatrikalisasi Puisi Balada Terbunuhnya Atmo Karpo” karya Rendra adaptasi Stanis, “Sosok” karya Stanis waktu memperingati Lustrum SMA yang dipentaskan ulang di auditorium Fakultas Sastra UGM, “Berpacu dalam Puisi” sebuah acara reguler Teater Nol yang dikemas semi go jack, “Joko Bodho cari Jodho”, “Arwah-arwah” adaptasi “Abu” karya B Soelarto serta Gongso Adu Nasib karya Cornell yang diothakathik lagi oleh Stanis dan di bantu Rudi Yesus. Tragisnya di Festival Teater Remaja pertama sewaktu jurusan teater ISI YK masih di Karangmalang, Teater Nol sempat diberi kesempatan untuk melakukan pertunjukan eksibisi. Namun tawaran manis ini terpaksa dilewatkan karena Teater Nol sedang dalam persiapan untuk bubar.

Perlu diketahui sekalipun sama-sama menggunakan nama NOL, namun teater Nol Yogyakarta ini ngga ada hubungan apapun dengan Teater Nol Surabaya. Mereka bukanlah sejenis franchise dan sebangsanya, namun semata karena kebetulan belaka. Sebagaimana lazim banyak bayi bernama sama meski kedua orang tuanya sama sekali berbeda dan tiada ada kesepakatan sebelumnya untuk memberi nama yang sama walau sejumput belaka. Bukankah ada banyak nama Sapto Raharjo meski sosok dan profesinya berbeda. Ada yang jadi komponis, pengrajin tatoo serta ada pula yang jadi paranormal. Dan ketiganya sudah pasti lahir dari rahim yang berbeda meski bernama sama.

Tanggapan yang cukup positif dirasakan oleh masyarakat di kedua RT serta bahkan melintasi RW-RW yang lain di wilayah Condongcatur. Mereka bangga memiliki anak-anak muda kreativ seperti anak-anak muda yang tergabung di teater NOL Yogya ini. Kontroversi terjadi justru setelah Catur Stanis melakukan tindakan berani dan nekat untuk membubarkan teater ini. Serupa ibu yang membunuh bayinya sendiri begitulah barangkali kondisi psikologis dan nuansa bathin seorang Catur Stanis saat di temui di angkringan menjelang pagi usai pembubaran itu.

“Aku melakukan 3 hal sebagaimana Tri Murti pernah lakukan. Merancang bagai Brahma, memelihara serupa Wisnu sekaligus Menghancurkan laiknya Syiwa”, begitulah gumam Catur Stanis di hari-hari penuh gerimis september 1992 saat membakar Stempel teater Nol dan Kayon dalam sebuah prosesi alkoholik.

Demikianlah sebuah contoh tulisan. Ada pemaparan awal sebuah ruang dengan waktu terjadinya peristiwa yang diupayakan seakurat mungkin. Karena ini semacam catatan peristiwa, jadi dia memaparkan sebuah realita. Tentu akan sangat berbeda dengan tulisan fiksi misalnya, seperti contoh kedua dibawah ini :

Rokok

Cerpen Catur Stanis

Sebab percaya bahwa seorang anak lelaki menghisap jempolnya sendiri sebagai perpanjangan kontrak bagi kenikmatan menghisap payudara ibundanya, maka remaja lelaki yang merokok, tentu menemukan kelembutan yang menikmatkan sebagaimana halnya menghisap payudara bundanya, maka menjadi wajar bila seorang lelaki memutuskan untuk menghentikan kebiasaannya menghisap rokok setelah menemukan kenikmatan menghisap puting payudara kekasihnya.

Berangkat dari segenggam pemikiran itulah maka, Warso tergerak mencanangkan tekad agar bisa menghentikan kebiasaan merokoknya. Maka diputuskanlah untuk mencari pacar dan dari sanalah ia berharap titik balik itu tercipta.

Rasmita kekasih Warso, tak habis pikir, kenapa lelaki itu masih saja menghabiskan waktu dan uangnya untuk membeli rokok. Padahal kehidupan rumah tangga mereka bukanlah termasuk dari golongan yang berlebihan amat. Maka kebiasaan merokok Warso, adalah sebuah kemubadziran bagi kehidupan rumah tangganya dengan Rasmita.

Beberapa tahun lalu, Warso memang telah menggelisahkan hal ini. Ia sangat ingin menghentikan kebiasaan merokoknya. Namun kenangan atas kesendirian yang mencekam, memaksanya untuk pada akhirnya memilih rokok sebagai teman baiknya dalam menghalau sepi. Bahkan semasa ia masih membujang, Warso pernah bertekad, akan menghentikan kebiasaan merokoknya ini apabila telah ditemukannya seorang kekasih yang tentu saja berjenis kelamin perempuan dari golongan manusia. Hal ini perlu ditegaskan, mengingat kesendiriannya selama ini membuahkan kecurigaan orang-orang disekelilingnya bahwa Warso diam-diam memiliki pacar gaib. Yang membuat teman-temannya memiliki dugaan serupa ini terdorong oleh kebiasaan Warso yang suka bermalam di tempat-tempat sepi seperti makam keramat, gua pinggir laut serta di candi-candi yang bersebaran dilereng-lereng pegunungan. Bahkan sekali waktu saat tetangganya menguntit diam-diam sekadar ingin tahu dengan siapa Warso menghabiskan malam-malamnya di tempat angker dan wingit itu, mereka menemukan Warso tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Padahal saat itu Warso tengah tidur pulas mendekap nisan tua di salah satu makam keramat di ujung desa.

“Aku melihatnya sendiri,” berkata salah satu dari tetangga itu kepada tetangga lainnya,”Betapa ia memang menikmati pergumulannya dengan makhluk gaib di makam itu”

“Kamu yakin melihatnya”, Timpal tetangga yang lain ragu.

“Sangat yakin”.

“Kalau kamu melihatnya, berarti bukan gaib dong namanya”, celetuk tetangga yang lainnya lagi.

“Maksudku, aku melihat Warso sedang tidur pulas sambil bermesraan dengan sesuatu yang nggak ada wujudnya”

“Kalau kau melihatnya dalam kondisi tidur, berarti dia sekadar ngelindur.” Timpal tetangga yang lain dari yang tadi.

Pardi Teplok menyeringai masam. Ia tak suka bila orang-orang meragukan omongannya. Sedemikian rupa ia berusaha menjelaskan kepada tetangganya tentang ulah Warso yang menurutnya aneh bin ganjil.

Warso sendiri sejauh ini tak ambil pusing dengan kasak kusuk tetangga yang mau tak mau sampai juga ke telinganya pada satu ketika. Bahkan saat Kronjot kawan sepermainannya sejak kecil menanyakan hal ini, Warso hanya senyam senyum saja.

“Jadi bagaimana sesungguhnya kang?” Tanya Kronjot hati-hati.

“Ehm,…biar saja orang bicara”. Kata Warso sambil menarik nafas berat,” Toh sampai saat ini tak ada yang sanggup membuktikan kebenaran cerita itu”.

“Tapi kalo Kang Warso tak melakukan klarifikasi, bisa-bisa…”

“Orang-orang akan menyangkanya sebagai kebenaran begitu maksudmu,” sahut Warso sembari menebar senyum.

Hampir saja Kronjot hendak mengatakan sesuatu, namun Warso kembali melesakkan kata-katanya,” Bagiku kebenaran sejati tidaklah harus berarti kebenaran bagi orang banyak.” Setelah menghela nafasnya dalam-dalam,”Bahkan apa yang disebut benar bagi orang-orang itu tentu juga tidak selalu harus berarti kebenaran yang sesungguhnya kan?”

Kronjot tertunduk lesu. Ia menyadari tak sepantasnya menanyakan hal ini pada Warso sendiri. Namun Warso menyikapinya dengan enteng. Ia gamit pundak Kronjot dan berkata,”Apakah sobatku Kronjot juga menyangkaku sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang itu kepadaku?”

Takjub Kronjot mendengar pertanyaan Warso yang diucapkan dengan dingin dan aneh. Ia tak mampu menjawabnya, apalagi melihat wajah Warso yang menyeringai ngeri. Kronjot tertunduk menelan kelu.

Tiba-tiba Rasmita keluar dari kamar sambil membawa nampan berisi dua cangkir kopi serta aneka gorengan. Kronjot makin salah tingkah dibuatnya.

“Maaf ini seadanya, semoga bisa mengganjal lapar serta meredakan haus”, kata Rasmita penuh kelembutan seorang istri.

“Ayo diminum dulu, nanti keburu dingin kopinya,” timpal Warso sambil menyeruput kopi bikinan istrinya,” Gorengan ini aseli bikinan istriku lho, bukan kiriman dari makhluk gaib.”

Kronjot makin sesak nafas mendengar gurau Warso. Kedua suami istri itu tertawa bahagia sambil berangkulan mesra. Kronjot mengutuk dalam hati, dan ingin segera beranjak dari tempat itu. Namun pantatnya seperti terpaku di kursi kayu itu hingga membuatnya susah untuk beringsut menjauh. Warso dan istrinya makin geli menyaksikan Kronjot yang salah tingkah seperti itu. Suara ketawa mereka mengusik kelengangan kampung itu saat malam menjelang pagi seperti ini.

Beberapa tahun kemudian, kisah tentang Warso, istrinya serta Kronjot sahabat mereka beredar serupa legenda yang dituturkan dari generasi ke generasi. Meski tempat dimana dulu pernah berdiri rumah tempat tinggal Warso, kini hanyalah tertinggal berupa gundukan tanah hitam yang kering. Namun konon beberapa orang masih saja percaya bila tiap pagi menjelang terutama setelah lewat tengah malam, mereka yang melintas tempat itu, akan sayup-sayup mencium harum kopidan gurih gorengan serta mendengar suara ketawa sepasang suami istri yang kini entah dimana.

Jogjakarta, 2010-2011

Cukup jelas kan perbedaan dua jenis tulisan diatas? Yang pertama adalah sejenis tulisan model jurnalistik yang menggambarkan perjalanan sebuah komunitas teater. Sedangkan tulisan kedua lebih kental nuansa fiksinya sebagaimana lazimnya sebuah cerpen. Meski jelas nampak berbeda, namun keduanya memiliki sisi kesamaan yakni, cukup keren sebagai sebuah tulisan.

Semoga yang sedikit ini bisa dipetik manfaatnya. Selamat berbuat bagi kreativitas J

Gedongkuning, Desember 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline