Sejak Indonesia merdeka, dunia pendidikan nasional telah berjalan selama puluhan tahun. Bahkan pendidikan di tanah air sebenarnya telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda (meski dilakukan secara terbatas).
Selama puluhan tahun tersebut, dunia pendidikan kita sudah mengalami pergantian kurikulum berganti ganti. Namun secara umum, tetap tidak merubah wajah dunia pendidikan kita. Mengapa begitu? Apa sebenarnya yang terjadi, sehingga wajah dunia pendidikan kita, umumnya tertinggal jauh dibandingkan negara negara maju.
Menurut saya, kegiatan pendidikan tidak dimulai dari "Jantungnya" yaitu menumbuhkan kebiasaan membaca. Robert Farr mengatakan bahwa, "membaca adalah jantungnya pendidikan" (Seminar KAGUM, 26 Maret 2016).
Begitu pentingnya membaca dalam dunia pendidikan, maka lulusan AMS (sekolah Belanda dulu), mewajibkan muridnya membaca 25 judul buku hingga lulus. Dampaknya dapat kita lihat pada tokoh tokoh pendiri bangsa yang "mencicipi" sistem pendidikan sekolah Belanda dulu, yang memiliki kekuatan intelektual yang baik seperti tertuang dalam berbagai karya tulis mereka.
Mengapa dalam dunia pendidikan kita saat ini, peserta didik tidak dibangun terlebih dahulu dari pondasi dasarnya yaitu kesukaan dan minat untuk belajar melalui membaca buku?
Padahal buku adalah jendela ilmu pengetahuan (tagline yang sudah terlalu sering saya baca!). Dari buku kita dapat menemukan berbagai informasi dan pengetahuan, melalui buku kita dapat menumbuhkan serta membentuk karakter dan kepribadian seseorang, dan melalui buku pula peradaban suatu bangsa dapat terbangun. Kemajuan peradaban suatu bangsa tidak terlepas dari bagaimana generasi bangsa tersebut mencintai buku.
Konon, bangsa Indonesia termasuk bangsa yang malas membaca, apalagi menulis. Anak-anak Indonesia sedari kecil lebih senang berjam-jam menonton televisi dan memainkan gawai dibandingkan membaca buku. Kenyataan ini memperlihatkan sebenarnya telah terjadi persoalan serius yang mendera bangsa ini. Rendahnya pengetahuan masyarakat yang diakibatkan karena rendahnya kemampuan membaca.
Pengetahuan masyarakat yang rendah akan berakibat pula pada rendahnya produktifitas dan standar kehidupan suatu masyarakat. Dalam membangun peradaban suatu bangsa, maka rendahnya budaya dan kemampuan membaca menjadi sebuah permasalahan serius. Demikian pula dengan kemampuan menulis. Kemampuan membaca yang rendah akan berhubungan pula dengan rendahnya produktifitas menulis.
Dalam sebuah surat kabar harian lokal Bogor (edisi 8/3/2016) dimuat tentang rendahnya produktifitas para akademisi Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia. Indikatornya dilihat dari jumlah publikasi ilmiah pada jurnal jurnal Internasional.
Sungguh miris dan memilukan, mengingat Malaysia konon di tahun 1970-1980, banyak belajar dari Indonesia dengan mendatangkan guru/dosen Indonesia untuk mengajar di sana. Namun kenyataan yang kita temui saat ini justru kebalikannya. Dalam beberapa hal di bidang pendidikan, Malaysia seringkali unggul dari Indonesia.
Adakah yang salah dalam sistem pendidikan kita? Menurut hemat penulis, pendidikan Indonesia telah menghilangkan "jantungnya dari suatu pendidikan" yaitu membaca.