Latar Belakang
Peristiwa Mei 1998 sudah menjadi sebuah memori kolektif bagi masyarakat Indonesia secara luas, terutama kalangan aktivis dan etnis Tionghoa di Indonesia. Krisis Moneter yang menurunkan nilai rupiah pada tahun 1997, berkembang menjadi krisis ekonomi yang lebih parah di Indonesia. Krisis moneter ini berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi.
Lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Krisis perekonomian ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja. Berbagai musibah nasional yang muncul di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir. Kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu.
Ekonomi Indonesia jika ditinjau sejak 1966 hingga 1996, menunjukkan kenaikan ekonomi yang positif. Pada tahun 1966, pemerintah Indonesia dapat menekan angka kemiskinan yang semulanya sebesar 60 persen menjadi 11 persen. Hal ini dibuktikan dengan masuknya nama Indonesia bersama dua negara Asia Tenggara lainnya, dalam New Industrialized Economies (NIEs) yang dirilis Bank Dunia pada 1993. Namun, dengan muncul krisis moneter pada tahun 1997, stabilitas ekonomi Indonesia mulai goyah. Krisis moneter ini yang kemudian membesar menjadi krisis ekonomi hingga sepanjang 1998. Nilai tukar rupiah mengalami depresi akut hingga mencapai angka 70 persen. Nilai tukar rupiah yang terjun bebas ini mengakibatkan inflasi tinggi di Indonesia. Angka inflasi Indonesia yang berawal hanya 8,1 persen sepanjang 1991-1996 melejit menjadi 77,1 persen pada tahun 1998.
Krisis ekonomi ini yang kemudian lanjut menyebabkan masalah krisis lain seperti masalah antara masyarakat pribumi dengan masyarakat keturunan etnis Tionghoa. ketimpangan ekonomi yang terjadi di tengah krisis ekonomi berawal dari beredarnya informasi palsu yang mengatakan bahwa orang Tionghoa menimbun sembako. Selain itu, informasi liar itu juga mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa telah melarikan uang negara ke luar negeri. Kabar tersebut semakin diperparah dengan kondisi perekonomian masyarakat Tionghoa yang pada saat itu cenderung lebih stabil ketimbang pribumi. Atas dasar asumsi, masyarakat Tionghoa dianggap sebagai penyebab krisis ekonomi Indonesia pada saat itu. Oleh karena itu masyarakat Tionghoa menjadi korban diskriminasi dan rasialisme dalam krisis ekonomi yang melanda di Indonesia.
Krisis ekonomi tahun 1998 ini tidak hanya berdampak langsung pada runtuhnya sektor ekonomi, tetapi juga memicu krisis sosial yang memperburuk situasi di Indonesia. Depresi nilai tukar rupiah, inflasi yang melonjak tajam, dan semakin banyaknya pengangguran menciptakan ketidakstabilan ekonomi yang parah. Dampak langsung ini kemudian melahirkan ketegangan sosial, terutama terhadap etnis Tionghoa yang menjadi sasaran berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis rasial. Ketimpangan ekonomi dan penyebaran informasi palsu menjadi pemicu utama rusaknya hubungan antara masyarakat pribumi dan keturunan Tionghoa. Dampak-dampak terutama dari segi ekonomi yang akan menjadi fokus pembahasan lebih lanjut pada teks analisis ini.
Dampak
Dampak dari krisis perekonomian Indonesia selama periode 1998, masyarakat kehilangan tabungan mereka dan toko-toko kosong karena orang-orang menimbun dan menjarah barang-barang. Perusahaan-perusahaan bangkrut, pasar properti dan bank-bank berada di ambang kehancuran dan harga-harga bahan makanan pokok meroket. Bank-bank kehabisan uang karena orang-orang panik dan menarik semua tabungan mereka. Banyak orang-orang melakukan kerusuhan di jalan-jalan. Perkelahian terjadi di supermarket saat pelanggan saling dorong untuk merampas dan menimbun minyak goreng, mi, tepung, gula, dan bahan pokok lainnya. Permintaan minyak goreng begitu tinggi di beberapa tempat sehingga didistribusikan di kantor polisi.
Selama krisis, banyak ibu tidak mampu lagi membeli susu, yang harganya naik tiga kali lipat. Mereka memberi bayi mereka teh sebagai gantinya. Orang-orang tidak mampu pergi ke rumah sakit dan meninggal karena tidak mampu membeli obat-obatan asing. Orang-orang yang membutuhkan perawatan medis seperti dialisis ginjal tidak mendapatkannya karena mereka tidak mampu membelinya. Rumah sakit tidak mampu lagi membeli kantong plastik untuk menampung darah untuk transfusi sehingga karyawan rumah sakit diminta untuk mengumpulkan botol susu untuk menyimpan darah.
Selama krisis keuangan Asia tahun 1997-1998, bisnis-bisnis di Indonesia tidak dapat membayar $90 miliar yang mereka pinjam dari bank-bank asing. Anggota keluarga dan kroni-kroni Suharto telah mengambil pinjaman dalam jumlah besar dari bank-bank yang pada gilirannya telah meminjam banyak dari bank-bank asing dan tidak dapat membayar utang-utang mereka. Banyak taipan Tionghoa Indonesia memindahkan modal mereka ke luar negeri. Banyak Bank tutup karena nasabah mengantri panjang untuk mengambil tabungan mereka.
Bisnis yang bergantung pada barang-barang seperti gandum atau kain impor harus tutup karena harga barang-barang ini naik tiga atau empat kali lipat. Selama beberapa saat, terjadi kepanikan dan banyak warga asing yang hengkang. Perusahaan membuat rencana darurat untuk mengevakuasi karyawan mereka dan satu sekolah internasional menimbun makanan jika terjadi kerusuhan sosial yang serius.