Perempuan dalam Kekuasaan: Kemajuan dan Tantangan Indonesia dalam Mencapai Target SDG 5.5
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 5.5 bertujuan memastikan partisipasi penuh dan efektif perempuan serta kesempatan yang setara untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan publik. Di Indonesia, tujuan ini masih menghadapi hambatan budaya, struktural, dan sistemik terhadap representasi perempuan dalam posisi kekuasaan, terutama di pemerintahan dan parlemen. Meskipun kemajuan telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir, kesenjangan yang signifikan masih ada, menyoroti perlunya upaya berkelanjutan untuk menjembatani ketimpangan ini.
Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia
Dalam pemilu legislatif 2019, perempuan di Indonesia mengisi sekitar 21% kursi di parlemen nasional (DPR), hanya meningkat sedikit dibandingkan 17% pada pemilu 2014. Angka ini masih jauh dari kuota 30% yang diwajibkan oleh undang-undang Indonesia. Kuota ini mengharuskan partai politik untuk mencalonkan setidaknya 30% perempuan dalam daftar calon legislatif mereka, dengan tujuan meningkatkan representasi perempuan di badan legislatif. Namun, implementasinya sering tidak konsisten, dengan banyak partai hanya memenuhi kuota secara administratif tanpa memastikan inklusi bermakna atau elektabilitas kandidat perempuan.
Di tingkat daerah, representasi perempuan bahkan lebih rendah, dengan beberapa parlemen provinsi dan kabupaten melaporkan partisipasi perempuan kurang dari 10%. Kesenjangan ini menunjukkan tantangan yang dihadapi perempuan untuk terjun ke politik, terutama di daerah pedesaan di mana norma patriarki dan akses terbatas ke sumber daya semakin menghambat keterlibatan mereka.
Perempuan di Cabang Eksekutif
Indonesia telah mencatat kemajuan dalam kepemimpinan perempuan di tingkat eksekutif, meskipun tidak merata. Negara ini pernah memiliki seorang presiden perempuan, Megawati Sukarnoputri, yang menjabat dari 2001 hingga 2004, menandai tonggak penting dalam sejarah politik kita. Namun, perempuan tetap kurang terwakili dalam posisi menteri. Dalam kabinet periode kedua Presiden Joko Widodo, hanya 9 dari 34 menteri (sekitar 26%) adalah perempuan. Jumlah ini merepresentasikan keadaan dimana perempuan sering kali tidak dilibatkan dalam peran pengambilan keputusan di sektor-sektor penting lainnya.
Di tingkat daerah, gubernur, wali kota, dan bupati perempuan masih jarang. Bias budaya dan stereotype tentang kemampuan kepemimpinan perempuan tetap ada, menghalangi banyak perempuan untuk mengejar posisi eksekutif. Ketika perempuan berhasil menduduki posisi tersebut, mereka sering menghadapi pengawasan dan perlawanan yang tidak dialami oleh rekan laki-laki mereka.
Hambatan Partisipasi Perempuan dalam Kepemimpinan
Beberapa faktor yang berkontribusi pada kurangnya representasi perempuan dalam posisi kekuasaan di Indonesia meliputi:
Norma Budaya dan Patriarki: Norma masyarakat yang mengakar kuat masih memprioritaskan laki-laki untuk peran kepemimpinan, dan melihat tanggung jawab utama perempuan sebagai pengurus keluarga. Pola pikir ini membatasi aspirasi politik perempuan dan penerimaan masyarakat terhadap pemimpin perempuan