Lihat ke Halaman Asli

Dua Kutub Harus Berlawanan agar Tarik-Menarik

Diperbarui: 24 Juli 2019   15:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: faithhit.com

Saya dulu berpikir bahwa dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis harus mencari yang banyak kesamaannya. Kalau orang pendiam, ya cocoknya sama yang pendiam pula. Yang orangnya suka kerapian, jangan cari orang yang suka berantakan. Untuk meminimalisir terjadinya konflik. Kira-kira seperti itu teori di kepala saya.

Tapi ternyata manusia memang tidak mudah dirumuskan dalam sebuah teori, terlalu kompleks. Pada kenyataannya di lapangan, saya justru menjumpai hal yang berbeda. Kebanyakan pasangan (kebanyakan loh ya, tidak semua), khususnya suami istri, justru punya sifat atau karakter yang kontras satu sama lain. Tapi mereka bisa jadi pasangan, berarti saling tertarik dong, atau merasa cocok.

Ibarat magnet, kutub yang sama akan tolak menolak, dan justru kutub yang berlawanan akan tarik-menarik. Begitulah analogi yang saya pakai untuk memahami fenomena itu. Untuk menjadi pasangan, sudah jelas harus mencari lawan jenis, dari situ saja sudah akan menimbulkan banyak perbedaan.

Saya terkadang geli sendiri melihat betapa kontrasnya sifat sepasang suami istri. Contoh paling mudah untuk dilihat adalah soal bersih-bersih. Saya menyadari ini saat memperhatikan tante dan om saya. Tante saya orangnya bisa dibilang sangat resik dan memperhatikan kerapian. Karena itu dia selalu mandi teratur dua kali sehari, bahkan bisa lebih kalau sedang kegerahan. Rumahnya juga selalu dibersihkan, barang-barang disusun dan diletakkan di tempat yang semestinya.

Kalau melihat orang seperti itu pasti kita berpikir, dia pasti.akan memilih pasangan yang kurang lebih sama rapinya. Tapi ternyata tidak saudara-saudara. Suaminya, atau om saya adalah bapak-bapak yang hobinya adalah mengutak-atik barang. Karena itu baginya seantero rumah ibarat bengkel atau galeri seni. Semakin berantakan, semakin semangat dia untuk melakukan sesuatu.

Kalau sudah asik mengutak-atik barang, bisa apa saja, arloji, barang elektronik, alat musik, sampai alat masak, om saya bisa lupa mandi dan lupa tidur sampai beberapa hari. Setelah dia selesai dengan segala 'mainan' nya itu, rumah sudah berubah menjadi kapal pecah yang membuat kemarahan tante saya pun ikutan pecah.

Berbeda lagi dengan cerita om dan tante saya yang lainnya. Kepribadian mereka juga sangat bertolak belakang. Om saya yang ini sangat kaku, suka marah, dan cenderung perhitungan dalam hal keuangan. Tapi anehnya istrinya justru memiliki sifat yang sangat periang, easy going, dan agak boros. Lucunya, kedua anak mereka juga memiliki sifat yang berbeda. Karena yang satun persis papanya, satunya lagi persis mamanya.

Bagaimana dengan saya sendiri? Ternyata sayabjuga mengalami hal yang sama. Dulu banget, saya pernah pacaran dengan orang yang bisa dibilang adalah versi laki-laki dari diri saya. Saking miripnya kami satu sama lain (sifatnya ya, bukan wajahnya). Sama-sama melankolis, suka puisi, suka membaca, rapi, dan masih seabrek persamaan lainnya. Sampai tanggal lahir kami pun sama persis, cuma beda tahun.

Seharusnya kalau menurut teori saya di atas, kami adalah pasangan serasi. Tapi ternyata yang terjadi adalah kegaringan yang hakiki. Bosen bok, berasa pacaran ama cermin. Semuanya udah ketebak, hampir tidak ada konflik, akhirnya hubungannya ga jalan kemana-mana. Stuck.

Sekarang saya sudah menikah, mau tau seperti apa saya dan suami? Yup, bertolak belakang. Dia ambisius, saya nyantai kayak di pantai. Dia mau segalanya terencana dan detail, saya maunya let it flow aja, biar ada unsur kejutannya. Dia suka matematika, saya muntah lihat angka. Dia berantakan, saya yang rapihin. Huah..ampyun. Berantem? Udah pasti. Berdebat? Jangan ditanya. Tapi ya itu, kita pasangan, berarti tertarik satu sama lain kan.

Kesimpulan mudah yang bisa saya ambil adalah mungkin memang harus seperti itu agar bisa saling melengkapi. Saat yang satu berperan ngegas, ya yang satunya ngerem. Biar ga terlalu ngebut dan ujung-ujungnya nubruk. Justru disitulah seninya, bagaimana kita belajar untuk menyikapi perbedaab, agar tidak menjadi sumber perpecahan, tetapi menjadi harmoni yang melekatkan kedua kutub yang berlawanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline