Lihat ke Halaman Asli

Pembatasan Ruang Berekspresi Mahasiswa

Diperbarui: 22 Juli 2017   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                               Dok istimewa

Saat ini dunia kampus Indonesia perlu mendapatkan perhatian khusus. Bukan hanya permasalahan fasilitas saja yang perlu disoroti. Kebijakan-kebijakan kampus yang memberatkan mahasiswa sebenarnya suatu permasalahan yang tak kalah penting untuk diperbincangkan. Belakangan ini banyak sekali kampus, negeri maupun swasta melakukan tindakan berupa pembungkaman suara mahasiswa, represi, intervensi dalam kegiatan mahasiswa, dan pembredelan produk persma.

Tindakan-tindakan tersebut terjadi di beberapa kampus di Yogyakarta. Pada tahun 2014 terjadi pembredelan buletin EXPEDISI edisi ospek milik Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresioleh Rektor Universitas Negeri Yogyakarta. Rektor UNY berdalih bulletin tersebut memiliki konten yang mengkritisi kampus.

Pada tahun 2016 terjadi dua kali pembredelan pers mahasiswa. April 2016 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) PorosUniversitas Ahmad Dahlan sempat dibekukan pihak birokrat karena dalam tulisannya Poros mengkritik rencana pembangunan fakultas kedokteran. Menurut mereka masih banyak fakultas di UAD yang dari segi fasilitas masih kurang.

Tak berselang lama giliran Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pendapa Universitas Sarjanwiyata Tamansiswa yang dananya juga dibekukan birokrat. Pendapa dibekukan perihal mereka tidak mau menandatangani pakta integritas yang disodorkan oleh pihak birokrat. Di dalam pakta integritas tersebut terdapat poin yang menjelaskan bahwa sebelum menerbitkan buletin Pendapa diwajibkan untuk berkonsultasi kepada Wakil Rektor III selaku penasehat. Dalam kerja jurnalistik pihak manapun tidak berhak menyortir bulletin sebelum disirkulasi. Jika ada kesalahan atau koreksi itu menjadi tanggung jawab redaktur. Karena dalam kode etik jurnalistik terdapat hak jawab.

Tindakan represi birokrasi kampus tentu akan merugikan mahasiswa. Hal ini dulu pernah terjadi di era orde baru. Ketika rezim Soeharto berkuasa masyarakat tidak berani mengkritik pemerintah karena takut akan dipenjarakan atau bahkan dihilangkan.

Kejadian di kampus sekarang hampir sama dengan di era orde baru. Hanya saja lingkupnya lebih kecil. Jika di era orde baru orang kritis di penjarakan, mahasiswa kritis di kampus maka akan diancam drop out. Itu yang terjadi pada Zaky Mubarok, Ketua BEM Universitas Negeri Yogyakarta. Pihak birokrat mengancam akan memulangkan Zaky kepada orang tua. Hal tersebut didasari pada Aksi Solidaritas Mahasiswa UNY yang bebrapa lalu dilakukan di halaman rektorat UNY. Pada aksi tersebut massa aksi menuntut beberapa poin, salah satunya adalah transparansi Uang Kuliah Tunggal (UKT). Namun, aksi yang tersebut tidak mendapatkan tanggapan dari pihak birokrat.

Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk penyampaikan pikiran dengan lisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini mahasiswa bebas menyampaikan aspirasinya terkait persoalan kampus. Mahasiswa mempunyai hak untuk berekspresi tanpa harus diancam drop out.

Apabila pihak kampus terus melakukan pembungkaman terhadap mahasiswanya berarti mereka telah merenggut hak-hak seorang manusia. Sebab semuanya telah diatur dalam undang-undang diatas. Wiji Thukul pernah berkata, “ Jangan kau penjarakan ucapan jika kau menghamba pada ketakutan karena kita akan memperpanjang barisan perbudakan.” Pihak kampus setidaknya harus mau mendengarkan aspirasi mahasiswanya. Karena tujuan dari suara aspirasi mahasiswa adalah untuk memajukan kampus.

Sebagai seorang mahasiswa kita seharusnya sadar dan peduli dengan situasi kampus. Sikap kritis sangat diperlukan pada diri mahasiswa. Mahasiswa di kampus bukan sekadar kuliah lalu lulus cepat saja. Tanpa dibekali keterampilan khusus atau softskill mahasiswa akan sulit bersaing di era globalisasi.

Harapannya mahasiswa tidak hanya tunduk dengan kebijakan kampus yang merugikan mahasiswa. Mahasiswa harus punya andil dalam mengawal kampus. Karena mahasiswa kritis sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan nasional. Dengan adanya represi terhadap mahasiswa tentu akan menghambat perkembangan dunia pendidikan Indonesia. Jika pendidikan Indonesia ingin maju sebagai pemuda seharusnya mahasiswa idealisme sejati. Untuk mewujudkan semua itu tentu dibutuhkan kesadaran dari mahasiswa sebagai agen perubahan serta pemuda yang akan memberikan perubahan pada dunia pendidikan Indonesia kelak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline