Lihat ke Halaman Asli

Joni Iskandar

Muda, Melankolis & Senyap

Membincang Pendidikan Bersama Prof. Yonny Koesmaryono

Diperbarui: 13 Agustus 2019   13:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Hari ini tidak banyak aktivitas yang kulakukan. Sembari menunggu balasan pesan singkat dari dosen pembimbing, aku kembali menggarap revisian. Tak lama, aku bergegas mandi dan berganti pakaian. Kupilih baju polo berkerah warna merah. Dipadu celana jeans biru kusam. Perpaduan yang tidak terlalu mencolok untuk sekedar bersantai. Aku nyaman.

Baju yang kupakai mengingatkanku pada kegiatan pelantikan di awal kepengurusan. Kami membelinya langsung dari pasar Tanah Abang untuk funding kegiatan. Bajunya kami jual kembali ke alumni. Lumayan, satu baju bisa diborong dengan harga berkali lipat. Tentu saja transaksi yang terjadi bukan murni jual beli, tapi lebih kepada derma. Saat itu, salah satu pembelinya adalah Prof. Yonny Koesmaryono.

Beliau sangat senang ketika aku dan kawan kawan meminta waktu untuk bersilaturahmi dengannya. Kami menjumpainya di kantor. Walaupun niat awal untuk funding, kami sempat berbincang sebentar. Pada pertemuan tersebut, aku baru tahu jika beliau menuntaskan program doktornya di Jepang. Sayang karena timingnya kurang tepat, kami tidak bisa berlama lama.

Bagiku, kuliah ke luar negeri adalah anugerah yang tidak diberikan ke semua orang. Selain ajang untuk menempuh pendidikan, lawatan study ke luar negeri merupakan kesempatan untuk mencuri ilmu sebanyak banyaknya. Merasakan atmosfir warga dunia sekaligus belajar menjadi minoritas di negara orang.

Pengalaman seperti inilah yang kelak bakal menuntun siapapun untuk menjadi lebih humanis dan kosmopolitan. Makanya dalam banyak kesempatan, aku sangat senang mendengarkan kisah orang-orang yang pernah belajar ke luar negeri. Termasuk mendengarnya langsung dari beberapa alumni, salah satunya Prof. Yonny.

Di lain kesempatan, aku pernah ngobrol panjang dengan Pak Yonny. Selain menggali pengalamannya ke Jepang, aku juga menyerap pengalamannya ketika menjadi ketua tim kerja di beberapa program strategis. Sebut saja seperti program pertukaran mahasiswa tanah air. Beliau juga pernah menjadi ketua tim Pokja progam Bidik Misi. Dan saat ini, beliau sedang diamanahkan sebagai ketua tim Pokja program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK) untuk Papua dan Papua Barat.

Amanah yang disebut terakhir itulah, yang membuatku dan Prof. Yonny lama sekali berbincang. Perihal penegasan pendidikan untuk anak bangsa di ujung Timur Indonesia yang kerap dianaktirikan.  Beliau pun menjadi seperti Bapak Angkatnya bagi Mahasiswa ADIK untuk Papua dan Papua Barat. "Semangat kuliahnya tinggi. Asalkan kita berikan kesempatan, setiap anak bangsa pasti mampu bersaing dengan siapa pun," ujar Prof. Yonny. 

Aku pun bersepakat dengan pemikiran beliau. Karena Kupikir, selaku sesama anak bangsa yang lahir dari rahim ibu pertiwi, semua penduduk Indonesia dari Sabang sampai Merauke, harus  punya hak yang sama untuk mengakses pendidikan. Lagipula amanat tentang hak memperoleh pendidikan bagi semua warga negara sudah dijamin penuh oleh UUD 1945.

Pertemuan dengan Prof. Yonny semakin membuatku paham, selaku generasi bangsa yang lahir kemudian, ternyata masih banyak janji-janji kemerdekaan yang belum kita lunasi. Seperti yang beliau sampaikan, bahwa syarat mutlak untuk menjadi bangsa maju adalah meratanya kualitas pendidikan Indonesia, yang out put-nya meningkatnya kualitas dan daya saing kita sebagai bangsa. Yang sampai hari ini, masih menjadi PR kita bersama. 

Meminjam istilah Lalu Fatah, persoalan pemerataan pendidikan bukanlah proyek "Roro Jonggrang" yang bisa diwujudkan dalam waktu semalam. Butuh kerja gotong royong untuk mewujudkannya. Semoga!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline