Lihat ke Halaman Asli

My Bestman Story

Diperbarui: 1 Agustus 2020   01:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sinar bulan berkelebat samar diantara bayang-bayang dedaunan. Sekilas siluet orang-orang yang berlalu lalang menyeruak di balik pepohonan. Kami, lebih tepatnya aku, melangkah melalui undakan tangga landai sementara dia hanya mengikuti arah yang kutuju. Mau gimana lagi, tanganku bergayut di lengannya. Jadi tak mungkin dia menolak. Dan kurasa dia tak mau menyinggung perasaanku.

Aku tak dapat menebak isi benaknya. Bisa jadi dia pun bertanya-tanya mengapa aku membawanya ke sini. Dari sekian teman lelaki yang ada di kelompok kami, aku memilihnya.
Menjauh dari keramaian menuju kegelapan pekat dibawah kanopi hutan.
Beberapa warung makanan yang dilewati nampak suram oleh cahaya lampu pijar. Sesekali terdengar senandung lagu pinggiran dari warung entah yang mana.
Kami terus menjauh. Kegelapan samar-samar disaput cahaya bulan.
Malam masih muda tapi di sekitar mulai sepi. Tak banyak orang yang menjelajah hingga ke sini.

Di sebuah gapura, kami berhenti. Aku mengajaknya duduk di bangku yang tak jauh dari situ. Dingin menggigilkan tubuh. Aku menarik jaket lebih rapat dan mendekapnya di dada. Suara siamang bersipongang bersahutan di kejauhan. Sepi sekali.  Tak ada yang membuka suara di antara kami.

Tanpa sadar sepanjang jalan tadi hanya aku yang berbicara.  Aku bercerita tentang diriku, hubungan cintaku bahkan mungkin kebingungan tentang tujuanku setelah ini. Sesuatu yang tak pernah kubagi pada siapapun bahkan pada kekasihku.
Setelah perpisahan sekolah, semua akan berakhir.
Aku tak  pernah menceritakan perasaan. Tentang keraguan. Tentang keresahan. Tentang keputusasaan. Apalagi kesedihan.
Bagiku itu hal yang tabu untuk diumbar.
Malam ini aku membutuhkan tempat untuk mencurahkan semua itu.
Dan entah mengapa aku memilih dia.
Tercetus begitu saja.

Waktu aku mengajaknya  menjauh dari teman-teman, beberapa mengeluarkan kata-kata usil sekedar menggoda. Yang mengherankan dia pun tak menolak.
Hingga kami tiba di sini. Hanya duduk. Terdiam menikmati sepi. Beberapa pasangan berlalu dan menghilang di kegelapan.

Kami sekelas sejak dua tahun lalu. Jarang berinteraksi hanya bertegur sapa seadanya.
Kadang-kadang saat tak ada guru, saling menggoda sesama teman.
Aku selalu mengagumi matanya. Hitam gelap seperti tengah  malam. Sekelebat ada kilau di bola matanya seolah bintang kecil dalam kekelaman yang pekat.
Kurasa aku akan mengingati mata itu selamanya.
Mungkin itu yang membuatku percaya menitipkan kisahku.
Karena kegelapan selalu jujur menyembunyikan segala.

Cukup lama kami berdiam duduk di situ.
Aku bersandar di bahunya. Merangkul lengannya. Tak canggung malah menikmati aroma khas maskulin dari tubuhnya. Rambut ikalnya yang dibiarkan panjang menggelitik pipi.
Suara jangkrik dan binatang malam telah pun larut dalam kesenyapan. Tak ada desau angin. Pepohonan seolah membisu diam. Jalan di bawah gapura ini lengang seolah tetiba kesepian menyergap pekatnya malam.
Memejamkan mata, aku menengadah mencari wajahnya.
Entah siapa yang memulai bibir kami telah saling berhadapan. Hanya dibatasi udara malam berputar-putar. Suasana terasa menghangat. Padahal udara dingin menggigit. Perutku bergelenyar. Antara malu dan menginginkan sentuhan. Bola mata itu menghunjam pandanganku.
Terpana sejenak, lalu saling menarik diri.
Aku duduk tegak sambil menggigit bibir. Dia  mencangkung di sebelahku. Sikunya bertumpu pada lutut sambil menautkan jemarinya.
Suasana terasa canggung buat kami berdua.
Di belakang, kerosak semak menyadarkan dari kekakuan.
Sekilas kami berpandangan, lalu berdiri dan kembali ke dalam cahaya.

Tiga hari kemudian, lewat nomor telepon yang tertulis di biodata kelas  aku menghubunginya lagi. Berharap dia tak merasa canggung dengan kejadian itu.
Suaranya renyah mengalun.
"Nggak apa-apa," jawabnya.
Tapi tetap saja aku merasa beruntung telah memilihnya.
Terimakasih telah mau menjadi pendengar untukku.
You're my bestman.
~~~

Duapuluh tahun kemudian...

Tanpa sengaja aku menemukan sebuah akun dengan nama yang mengingatkanku padanya. Fotoprofilnya seorang gadis kecil mungil yang manis berambut kriwil.
Satu kata pada akun itu seolah khas dirinya.
Penasaran, aku mengulik profilnya. Muncul foto pria sebaya denganku. Tapi bukan dia. Tak sedikitpun ada gambaran wajahnya di masa lalu.
Tapi tunggu dulu!
Mata itu!
Aku tak mungkin lupa.
Mata kelam segelap tengah malam itu masih tak berubah.
Itu pasti dia.
Kawan yang pernah menjadi pendengar kisahku.

Masihkah dia mengingati kejadian itu?
Hanya waktu yang akan menjawabnya.

6uk1t74w4n9 93




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline