Pencapaian apa yang dapat kita banggakan dalam hidup? Apakah itu popularitas? kekayaan? Jabatan? Karir? Atau Keluarga? Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba saja melintas dalam pikiranku.
Apa yang pantas kubanggakan dalam hidup? Hmmn, pertanyaan mudah yang ternyata cukup sulit untuk kujawab saat ini. Banyak kutelan kefanaan yang terasa begitu nyata, tak sedikit kisah yang kujalani dengan luar biasa, tapi apa yang bisa kubanggakan dari itu semua? Sebenarnya secara spontan pertanyaan itu mudah untuk kujawab! Namun semakin ku renungkan, semakin pudar pula jawaban yang mampu kuberikan…
Aku punya pekerjaan yang mapan walau tak cemerlang, jabatan yang sanggup kupegang walau tak besar, harta yang mampu kupergunakan walau tak banyak, keluarga yang kusayang, cinta yang kuidamkan, petualangan yang menantang, atau kenangan yang menyenangkan. Telah kunikmati semua jenis rasa kehidupan. Manis, asam, pahit atau getirnya hari-hari tak luput kucicipi. Aku tak bermaksud menyombongkan kesempurnaan dari miniatur dunia yang kujalani, atau membanggakan deretan derita yang sanggup kuhadapi. Namun entah mengapa, tak mampu ku temukan jawaban yang jujur dari pertanyaan ini, apa yang telah kudapatkan tak sedikitpun pantas tuk kubanggakan, lalu apa yang bisa kubanggakan?
Pertanyaan itu membawaku pikiranku melayang kembali ke masa lalu. Sebait catatan usang dari kisah yang telah kujalani sewaktu dulu, hari-hari dimana aku baru memulai semua itu, masa kecilku. Aku yang paling muda dari tiga bersaudara. Aku tumbuh dalam keluarga sederhana, tak ada harta, tak banyak cinta, namun mampu untuk sekedar kurasa. Kunikmati keceriaan masa kecilku bersama teman sebaya dilingkungan tempat tinggalku, kuperoleh contoh panutan dalam bertindak dan bersikap dari kakak-kakakku, kudapatkan nafkah dari ayah, dan cinta serta perhatian dari bunda. Kujalani masa kecilku yang biasa, tak sempurna, namun cukup untuk kurasakan sebagai miniatur dari kehangatan sebuah keluarga. Dan keluarga ini semakin hangat dengan hadirnya anggota baru, adik kecilku.
Waktu berlalu memberikan kisah yang berbeda, ketika ayah terkena PHK. Kesulitan dalam keluarga yang semakin bertambah memberikan suasana berbeda dalam keluarga ini. Adik kecilku tumbuh dalam keluarga yang sama dengan ku, tapi apa yang dia dapati dari keluarga ini tak sama seperti apa yang kudapatkan. Ayah dan bunda yang semakin tua, penghasilan mereka yang semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan kami semua, menjadikan keluarga ini semakin jauh dari kehangatan, semakin terperosok dalam lubang kesulitan. Sementara kami kakak-kakaknya telah menjalani hidup ditempat berbeda walau dengan kesulitan yang sama.
Kutinggalkan keluarga setelah ku lepas seragam putih-biru, harus kutinggalkan keluarga agar mampu ku jalani masa-masa putih-abu. Sementara kedua kakakku mencoba mandiri, berhenti menjadi beban dengan mencari nafkah sendiri dan menopang kebutuhan keluarga. Sedangkan Ayah dan bunda beserta adikku menjalani hari demi hari dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk mendapatkan nafkah.
Lingkungan tempat tinggal yang berpindah-pindah dan sulitnya hidup yang harus dijalani, membuat adik kecilku tak cukup mampu tuk menikmati masa kecilnya. Tak ada cukup waktu baginya tuk berbaur dengan teman sebaya dilingkungan yang selalu berpindah. Tak ada kehangatan keluarga yang cukup baginya ketika ayah dan bunda harus membanting tulang untuk tetap menjaga nafkah mereka. Kutinggalkan keluarga yang sedang dalam kondisi seperti itu, membuatku tak pernah merasakan kesulitan yang mereka hadapi, kesulitan yang tak mampu kuhadapi. Kujalani hari-hariku terpisah dari mereka, kuhadapi kesulitanku sendiri, dan hanya mampu memberi perhatian kepada mereka tanpa mampu memberi kontribusi yang berarti. Bukan ku tak mau, tapi aku tak mampu.
Adik kecilku harus tumbuh dalam keluarga yang seperti itu. Dia menghabiskan masa kecilnya dengan hanya mendapatkan ampas dari apa yang pernah kudapat dari keluarga kami. Tak ada keceriaan masa kecil bersama sebayanya, tak ada panutan untuk ia jadikan contoh dalam bersikap, nafkah yang sangat terbatas, cinta dan perhatian yang seadanya, hanya itu yang bisa ia dapatkan dari masa kecilnya. Hanya ampas yang ia mampu cicipi, ampas dari kesejahteraan, ampas dari cinta dan kehangatan, ampas dari semua keceriaan masa kecil yang pernah kudapatkan. Aku tak tumbuh bersama adik kecilku, aku hanya sesekali pulang kerumah, tinggal bersama keluarga dalam waktu yang singkat. Hanya mendengar semua kesulitan yang mereka hadapi, hanya melihat beban yang mereka jalani. Aku hanya tahu bahwa adik kecilku secara bertahap telah tumbuh remaja.
Perjalanan waktu mengiringi jejakku, meniti hari tuk tetap maju menata hidup. Setahap demi setahap kususun duniaku, menjadikanku sosok yang mampu meneruskan jejak kakak-kakakku tuk menjadi tulang punggung keluarga. Kan kuberikan semua yang mampu ku beri tuk keluarga, tuk memberikan raut bahagia di wajah mereka. Sudah waktunya bagiku tuk berkontribusi, tuk sedikit meringankan beban yang mereka hadapi, walau hanya sekedar nafkah materi.
Sementara adik kecilku tumbuh remaja dengan berlatar kesulitan yang menemaninya dari kecil, kepribadiannya terbentuk dari getir dan dinginnya keluarga. Satu keinginan besar yang kusimpan dalam hati kecilku adalah ingin mengganti semua pengalaman pahit yang ia rasakan dimasa kecilnya dengan jalan kecerahan untuk masa depannya. Kuberi perhatian yang kupunya, kubagi materi yang mampu kuperoleh, kutunjukkan jejak-jejak perjalananku sebagai contoh untuknya. Semua itu kulakukan untuk mengganti ketidak-becusan peranku sebagai seorang kakak dimasa kecilnya.
Aku ingin adik kecilku menikmati cerahnya hari, luasnya dunia, mengisi lembar hidupnya dengan jutaan pengalaman, petualangan, cinta dan kesuksesan sehingga ia mampu menghapuskan semua getir dan gambaran buruk dari kenyataan hidup yang pernah ia jalani. Aku ingin ia mendapatkan semua itu, kuarahkan ia jalan untuk mendapatkan semua itu, tanpa kutahu apa yang sebenarnya ia inginkan, apa yang ia kehendaki, apa yang ia ingin capai, dan jalan mana yang ia ingin lalui. Aku terlalu larut dengan keinginanku terhadapnya, aku terlalu bangga dengan apa yang sudah kujalani, terlalu naif tuk menilai kualitas diri yang ia punya.