Lihat ke Halaman Asli

Pelajaran dari Kasus Farhat Abbas

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Di jagat hukum nama Farhat Abbas memang cukup dikenal. Sebagai advokat dia acapkali menjadi penasehat hukum kasus-kasus kontroversial, terlebih suami dari artis senior Nia Daniati ini juga kerap mendampingi para pesohor yang tengah menghadapi kasus hukum. Wajar bila kemudian wajah dan namanya familiar di tengah masyarakat karena sering menghiasi media massa.

Namun kini roda kehidupan tiba-tiba berbalik seratus delapan puluh darajat. Putera Komisiner Komisi Yudisial (KY) yang juga mantan Hakim Agung Abbas Said kini justeru yang harus berhadapan dengan kasus hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya setelah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus yang diduga terkait SARA oleh penyidik di penyidik Polda Metro Jaya.

Peristiwa ini bermula dari Kicauan bernada SARA dari Farhat yang disampaikanya pada 9 Januari 2013 lalu melalui akun Twitter @farhatabbaslaw. Farhat menyampaikan keberatan atas pernyataan Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta terkait penggunaan pelat nomor polisi khusus bagi pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yakni Gubernur dan Wakil Gubernur DKI.Dia menulis "Ahok sana-sini protes plat pribadi B 2 DKI dijual polisi ke org umum katanya! Dasar Ahok plat aja diributin! Apapun plat nya tetap C***!".

Cuitan Fathat tersebut hanya dalam hitungan menit tersebar luas yang kemudian menuai beragam reaksi masyarakat di dunia maya. Salah satunya orang yang merasa terganggu dengan ‘celoteh’ bekas murid pengacara gaek OC Kaligis tersebut adalah tokoh senior Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Anton Medan yang kemudian melaporkannya ke Polda Metro Jaya dengan sangkaan Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 4 jo 16 UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Advokat Tidak Kebal Hukum

Terhadap masalah ini, semula Farhat merasa ciutannya tak akan masuk ke ranah hukum, laporan Anton Medan hanya gertakan dan paling-paling selesai di meja mediasi. Tetapi ternyata polisi benar-benar memproses laporan tersebut. Farhat berkali-kali meminta maaf baik ke Ahok maupun Anton Medan tetapi kata maafnya tidak digubris. Sebagai pelapor Anton Medan kekeh proses hukum harus jalan. Sampai akhirnya status Farhat dinaikkan menjadi tersangka. Meski berprofesi sebagai advokat bukan berarti kebal hukum. Dihadapan hukum siapapun dan apapun profesinya semua sama dan sederajat (equel before the law).

Soal Farhat benar atau salah biarlah proses hukum yang nanti akan menguji, karena manakala sudah masuk ranah criminal justice system masih banyak prosedur yang harus dilalui untuk sampai pada vonis hakim. Namun dalam kasus ini ada catatan penting yang patut kita renungkan bersama terutama bagi mereka yang akrab dan bergelut dengan teknologi informasi yang punya ‘dunia’ sendiri yang sering disebut dengan dunia maya.

Semenjak Undang-UndangNomor 11 Tahun 2008 TentangInformasi dan Transaksi Elektronik atau lebih dikenal dengan Undang-Undang ITE (UU ITE) negara memberikan rambu-rambu agar masyarakat pengguna teknologi harus bijak. Komunikasi di dunia maya juga dituntut untuk mengindahkan ‘tata krama’ sebagai mana ketika kita hidup di dunia nyata. Hal ini untuk merespon ledakan teknologi informasi yang mengalami revolusi sedemikian rupa sehingga masyarakat di muka bumi ini bisa terhubung dengan mudah satu sama lain.

Munculnya berbagai macam media sosial seperti facebook, twitter, instagram, twoo dan sejenisnya memudahkan masyarakat global melakukan bentuk komunikasi dengan mudah selain itu dapat digunakan untuk menunjang pekerjaan, ajang curhat,mejeng hingga mengkritisi kebijakan negara. Di sisi lain lalu lintas jutaan manusia di jejaring sosial tersebut juga sangat berpeluang menciptakan benturan, baik disengaja maupun tidak, baik antar individu maupun komunal atau sebaliknya. Jadi seperti pisau bermata dua, ada positif dan negatifnya.

Hukuman lebih Berat

Oleh karena itu menurut UU ITE kita dilarang bahkan diancam pidana bila seeaknya melontarkan hal-hal yang mengganggu ketertiban umum, asusila maupun yang melanggar undang-undang seperti melakukan pencemaran nama baik terhadap pihak lain.

Ancaman pencemaran nama baik di dunia maya berdasarkan UU ITE hukumannya lebih berat sampai dengan 6 tahun. Padahal bila di dunia nyata ancaman penghinaan sebagaimana diatur KUHP Pasal 310 maksimal hanya 9 bulan.Suka atau tidak norma tersebut hingga hari ini masih ada dan akan tetap diberlakukan, kecuali UU ITE tersebut direvisi/diganti.

Maka itu jalan untuk menghindari jerat UU ITE tiada lain kita sebagai pengguna teknologi informasi harus bijak sebagaimana saat berkomunikasi di dunia nyata. Ada etika, norma maupun tata krama yang mesti kita patuhi manakala berselancar di jejaring sosial. Manakala hal tersebut diabaikan niscaya kita akan berurusan dengan proses hukum yang panjang dan melelahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline