Lihat ke Halaman Asli

Coretan Dewi Murni

Dakwah bil hikmah

Pahitnya Berhijab di Negeri Sekuler

Diperbarui: 6 Maret 2021   22:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tanggal 1 Februari diperingati sebagai World Hijab Day atau Hari Hijab Sedunia. Momentum ini bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap muslimah karena hijabnya, dan mengajak perempuan yang belum berhijab untuk merasakan pengalaman sehari menggunakan hijab.

Polemik tentang hijab kerap kali terjadi. Mulai dari pelarangan jilbab di sekolah, pelarangan cadar di lingkungan pemerintahan, hingga isu intoleransi dan terorisme. Jilbab dan kerudung adalah pakaian indentitas kaum muslimah yang merupakan kewajiban dari Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS An Nur: 31 dan Al Ahzab: 59. Selain itu banyak hadis Nabi Saw yang menjelaskan kewajiban berhijab.

Kewajiban berhijab berlaku saat muslimah keluar dari rumahnya atau berhadapan dengan laki-laki asing yang bukan mahromnya. Maka berhijabnya seorang wanita ketika menjalani perannya di dalam masyarakat bukan sekedar fashion semata, apalagi budaya. Melainkan buah dari ketaatan pada Allah.

Hijab bukanlah pengekangan atapun simbol buruk lainnya. Ia adalah kemuliaan, penjagaan sekaligus pembeda antara dirinya dengan budak. Dengan hijab muslimah tetap bisa berkontribusi dalam kebaikan sesuai anjuran islam. Sehingga tidak ada hal apapun yang perlu ditakuti dari hijab.Sebaliknya, mendukung dan melindungi hijab adalah bentuk penghormatan terhadap kemuliaan perempuan. Lebih dari itu, ia bagian dari ibadah berupa penjagaan atas pengamalan syariat.

Namun, apa jadinya bila menjalankan perintah Allah justru dilarang, apalagi pelarangannya dilakukan oleh negara? Merangkum fakta dari tirto.id, 30/1/2017. Pemerintah Indonesia pernah alergi dengan jilbab. Aturan itu membatasi para sisiwi memakai jilbab, bahkan diperlakukan dengan buruk seperti dikeluarkan dari kelas, dilarang ikut ujian, rapor tidak diberikan, sampai dikeluarkan dari sekolah. Saat itu orang memakai jilbab dianggap oleh otoritas Indonesia sebagai ekspresi politis.

Belgia melarang perempuan bercadar terlihat di taman dan di jalan raya. Inggris, pada 2014, bahkan menyebut cadar sebagai simbol yang meningkatkan masyarakatnya terpecah-belah. Pada Januari 2016, di satu kawasan di Italia, pemerintah daerah di sana melarang burka. Belanda melarang burka di area publik seperti di sekolah dan rumah sakit dan transportasi umum pada November 2016. Di Turki, sampai 2013, pemerintahnya melarang perempuan bercadar di lingkungan PNS. Tunisia, sejak revolusi 2011, berada dalam kondisi limbung antar-faksi politik, dan melarang murid-murid memakai jilbab. Bahkan ibu hamil dan pasien berjilbab ditolak mendapat perawatan dan bantuan melahirkan di rumah sakit negara.

Fenomena ini menjelaskan adanya islamphobia akibat pengadopsian sistem sekuler. Sistem sekuler yang memisahkan pandangan agama dan dunia meniscahyakan minimnya penjelasan-penjelasan terkait tsaqofah islam khususnya mengenai pakaian muslimah ditengah-tengah umat. Opini hingga kurikulum pendidikan dimainkan oleh mereka yang memegang kuasa dunia, yakni Barat. Akibatnya pola pikir dan prasangka buruk mengenai jilbab dan cadar mewarnai kehidupan masyarakat dibelahan dunia termasuk di Indonesia. Pada akhirnya kaum muslimah harus merasakan pahitnya ketaatan di bumi Tuhannya.

Bukan tanpa alasan. Tradisi sekuler memang berkonspirasi untuk menjauhkan umat dari syariat Islam, bahkan memusuhi ajaran agamanya sendiri. Di antara banyaknya kisah muslimah yang istiqomah dengan hijabnya, banyak pula muslimah yang akhirnya kalah menghadapi pelarangan hijab atau opini buruk tentangnya. Baik itu karena dihadapkan pada dua pilihan sulit, karir atau hijab, pendidikan atau hijab. Maupun karena termakan opini dan tsaqofah batil yang mempropagandakan kewajiban berhijab.

Mengenai HAM yang diusung Barat, tentu kita bertanya-tanya. Kemana suara pembelaan HAM terhadap diskriminasi hijab? Bukankah HAM menjamin kebebasan beragama? Lagi-lagi, dari sini kita belajar, bahwa HAM hanyalah ilusi. Berisiknya HAM hanya untuk kepentingan ideologi sekuler kapitalisme. Sedangkan untuk islam, HAM mendadak bisu tuli dan buta.

Karena itu, siapa saja yang menginginkan keadilan serta menjunjung tinggi kemuliaan dan kehormatan wanita, pastilah merindukan sosok pemimpin agung sekelas Rasulullah dan para khalifah setelahnya. Di kisahkan dalam dalam ar-Rahiq al-Makhtum karya Syaikh Shafiyurrahman Mubarakfury. Rasulullaah Saw bersama pasukan kaum muslim pernah berangkat menuju tempat Bani Qainuqa untuk membela seorang wanita Arab yang disingkap jilbabnya oleh orang Yahudi.

Kejadiannya di pasar kaum Yahudi Bani Qainuqa ketika wanita itu duduk dekat perajin perhiasan. Hampir saja semua pelaku dari Bani Qainuqa itu dihukum mati oleh Rasulullaah Saw. Namun keputusan itu berubah ketika Abdullah bin Ubay memohon pada Rasulullaah Saw untuk memaafkan mereka. Akhirnya Rasulullaah Saw bermurah hati dan memerintahkan Bani Qainuqa untuk pergi sejauh-jauhnya dan tak boleh lagi tinggal di Madinah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline