Lihat ke Halaman Asli

Hukuman Bagi Si Penelatar Anak

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari yang lalu, Mbak Ayuk, Psikolog di Puskesmas saya bercerita : "Ini ada anak, Bu Siska, sudah 1 bulan tidak tidur di rumah. Tinggal di emperan kelurahan dekat dengan rumahnya dan berkeliaran di dekat situ pada siang hari. Sudah lecek sekali, Bu, bahkan di kepalanya ada kropeng akibat rambut kotor yang tidak pernah dicuci. Orang tuanya ada, tapi tidak kuasa meminta dia pulang. Yang ada, si ayah (yang single parent) mencari anaknya setiap pagi untuk diberi makan. Parahnya, para tetangga justru mengkondisikan anak dalam keadaan yang tidak nyaman. Si anak terus menerus diejek sehingga mengamuk dan melempari mereka dengan pecahan genting yang memang dia kumpulkan. Kelihatannya mereka justru menikmati kemarahan si anak tersebut."

Lalu, rekan saya ini pun menambahkan; "Anak ini harus di 'selamatkan', Bu. Dia butuh lingkungan yang sehat untuk perkembangan fisik dan mentalnya. Sebab dia normal secara kejiwaan, tapi mendapatkan perlakuan yang salah. Menurut saya, sebaiknya anak ini dimasukkan ke panti sementara waktu, sambil kita evaluasi. Sesudah normal, kita kembalikan pada keluarga."

Cerita ini, Kawan, akhirnya membawa saya pada beberapa hari yang cukup meresahkan berisi pertemuan dengan si anak, ayahnya, petugas kecamatan hingga pekerja panti sosial.Saya, terus terang cukup terkejut dengan kesan yang saya dapat pada setiap pertemuan ini. Saya awalnya mengira akan bertemu dengan seorang anak yang 'terlantar' total; benar-benar kotor dan memiliki gangguan emosi yang berkaitan dengan rasa tidak aman akibat penelantaran keluarga. Thus, saya akan bertemu dengan ayah yang lemah karakternya.

Nyatanya yang saya temui adalah ayah dan anak yang 'biasa'.

Mereka duduk di kursi tunggu puskesmas. Anak yang kurus, hitam dan lusuh tapi tidak terlalu lusuh. Cukup rapi saya kira. Memang rupanya cocok sebagai peminta minta di jalanan tapi tidak cocok sebagai 'gelandangan'. Pembawaannya normal. Tidak ada keceriaan berlebihan atau kemarahan. Terkesan wajar sekali. Si ayah, sedemikian kurus sampai saya bisa melihat cekungan di pipinya, berkumis tebal, tidak punya kemampuan sosial yang baik, duduk diam tanpa ekspresi, seakan-akan di keningnya tertulis " oke, apa saja boleh terjadi di luar saya, tapi saya tidak punya urusan".

Hari itu juga saya menemani mereka diantar ke panti penitipan anak. Di sana, si ayah memaparkan kembali kronologis 'menggelandangnya' si anak. Secara gamblang dia mengatakan bahwa saat ini anaknya berkesan normal, tapi sewaktu-waktu bisa mengamuk dan menyerangnya. Ia tidak bisa menguasai anaknya. Anaknya dekat ke ibunya. Ibunya menghilang tanpa kabar berita. Anaknya tidak terkendali. Dia tidak berdaya.

Saya merekam semua wawancara itu dalam kamera sambil bertanya-tanya dalam hati betapa tidak pekanya pria ini. Ia membicarakan kejelekan anaknya begitu saja pada orang lain, di depan si anak sendiri tanpa peduli bahwa hal tersebut bisa menyinggung perasaan si anak. Betul, di tengah pembicaraan, si anak memukul kaki ayahnya. Tidak keras saya kira, tapi cukup mengganggu si ayah. Sesudahnya berlangsung adegan dramatis; si ayah berlari keluar, dikejar si anak yang berusaha memukulnya. Ia kemudian berteriak "lama-lama saya bisa dibunuh anak ini." Tapi sungguh Kawan, ekspresi mukanya sama sekali datar. Dan dia sepenuhnya menghindar. Tidak memberikan respon emosi pada si anak. Tidak marah. Tidak benci. Tidak cinta. Tidak ada apa-apa.

Dari panti yang satu, masih ada beberapa panti lagi yang akhirnya didatangi. Masalahnya, anak ini bukanlah anak tanpa orang tua. Dan jelas-jelas si anak menolak untuk tinggal berpisah dengan ayahnya. Maka, kami mencarikan panti dimana ayah dan anak bisa tinggal bersama. Harapannya, ada ruang untuk normalisasi kehidupan si anak, sekaligus memberi kesempatan agar ikatan ayah anak tidak putus begitu saja. Ada panti yang bersedia menerima. Mereka bisa tinggal bersama, hidup ditanggung negara, dan saya sungguh sempat berharap agar kisah ini berakhir bahagia.

Tapi si ayah menolak.

Kawan, saya beritahu, ayah ini tidak ingin tinggal bersama anaknya. Ia jelas-jelas berulang kali mengatakan ingin agar si anak dititipkan dan dia hanya menjenguk sekali dalam satu atau dua minggu. Ketika satu panti menawarkan agar ia menjemput anaknya setiap jam 9 malam pun ia tak terima. "Saya jemput jam 12 malam," begitu katanya. Padahal, pekerjaannya sebagai penjual makanan di SD dekat puskesmas saya lepas siang sudah bisa rampung dilakukan."Bapak, mohon tekan ego Bapak, lakukan saja demi anak ini." Dan dia menjawab: tidak. Ketidakoperatifan ayahnya sungguh mengganggu. Belakangan, sampai kabar kepada kami bahwa selain membiarkan anaknya tidur di jalanan, si ayah juga kerap kali memukuli si anak.

Kasus ini pun menggantung sampai di sini. Hari ini--2 minggu sesudah kami mendengar kasusnya pertama kali, 6 minggu sesudah ia menggelandang--belum ada solusi apa-apa. Petugas Puskesmas kami lelah dan saya tidak tau bagaimana peran kecamatan dalam masalah ini. Seharusnya kecamatanlah yang dari awal mengendus dan menangani kasus si anak, tapi karena kelambanan mereka, kami memutuskan untuk bergerak. Sekarang, terakhir yang saya dengar, kasus dipegang oleh bagian ketertiban, bukan kemasyarakatan. Akibatnya pendekatannya tidak manusiawi. Anak dianggap sampah, mengganggu ketertiban dan harus diamankan. Tidak ada paradigma berfikir bahwa anak adalah korban dan harus diselamatkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline