Hingga saat ini, konflik antara Israel dan Palestina masih terus berlangsung. Yang pertama adalah sebuah negara yang lahir atas sebuah keprihatinan terhadap 'suatu' ras yang tertindas. Sedangkan yang kedua adalah negara merdeka yang dipaksa untuk merelakan tanahnya untuk didiami oleh yang pertama.
Beberapa hari terakhir, gesekan antara Israel dan Palestina sempat memanas dipicu dengan dipasangnya detektor logam di Masjid Al-Aqsha. Walaupun pada akhirnya, Israel membongkar detektor logam tersebut dan menggantinya dengan kamera pengintai.
Bagaimana awal mula perseteruan Israel dan Palestina? Tulisan singkat ini akan mengemukakan sedikit gambaran bagaimana mengenai hal tersebut.
Beberapa waktu yang lalu (6 Juli 2017), penulis sempat mengikuti kuliah umum bersama Prof. Avi Shlaim, penulis sejumlah buku bertemakan perpolitikan Israel dengan negara-negara sekitarnya. Beliau adalah seorang sejarawan berkebangsaan Israel yang merupakan Profesor Emeritus dari University of Oxford.
Penulis tertarik mengikuti kuliah karena ingin mengetahui bagaimana pendapat seorang akademisi berkebangsaan Israel dan keturunan Yahudi (dan lebih khususnya Yahudi dan Arab) terkait konflik yang terjadi di negaranya.
Kuliah umum ini berlangsung di Kyoto University, Jepang dan bertajuk "The 50th Year after the Occupation 1967" ("50 tahun setelah Pendudukan tahun 1967")
Kuliah diawali dengan pengenalan siapa sebenarnya bangsa Yahudi itu. Apa yang beliau jabarkan menunjukkan bahwa Yahudi bukan sekedar entitas tunggal suatu bangsa yang mendiami suatu wilayah tertentu di dunia.
Mereka sudah sejak lama membaur dengan bangsa-bangsa lain yang menjadi mereka sebagai bangsa yang multi-entitas. Sebut saja Yahudi Arab misalnya. Mereka sudah terbiasa di lingkungan yang heterogen dan bergaul serta bersosialisasi dengan suku atau bangsa yang berbeda.
Di masa-masa kejayaan Utsmaniyah (yang berpusat di wilayah yang ditempati negara Turki), menurut narasumber, kondisi di Timur Tengah cenderung lebih damai. Utsmaniyah menaungi wilayah yang sangat luas dengan berbagai entitas di dalamnya.
Gesekan-gesekan seperti yang terjadi sekarang justru tidak banyak terjadi. Nasionalisme lah yang memecah belah mereka sehingga setiap 'bangsa' mulai menegaskan entitasnya masing-masing.
Ibaratnya hanya ada hitam dan putih, jika bukan bagian dari bangsa mereka maka entitas lain tersebut adalah musuh. Terutama setelah runtuhnya Utsmaniyah dan negara-negara barat yang membagi-bagi teritori di Timur Tengah untuk mereka kuasai.