Lihat ke Halaman Asli

Catarina Tenny Setiastri

Ibu, guru, dan pejalan.

Peristiwa Pilu yang Memberi Hikmah

Diperbarui: 1 Januari 2024   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertama kali Mas kerja setelah dua bulan pemulihan. Luka wajahnya mulai tersamar.

Malam itu, pk. 22.30 WITA. 

Mas (baca: suami) belum pulang. Ini adalah hal aneh karena hari ini adalah hari terakhir tour tamunya, dan flight tamunya pun sudah tadi siang. Kekuatiran saya menajam. Saya pun mengambil gawai dan menanyakannya: "Mas dimana?" Lalu dia menelpon balik, meminta saya mengajak anak ke rumah Ibu yang berjarak 1 jam dari rumah. Malam begini ke rumah Ibu? Saya hanya diam, saya tidak mau kehilangan tiap kata yang ia ucapkan. Kata-katanya jelas teratur rapi, pelan dan tertata, benar-benar tidak seperti biasanya. Jelas ini adalah upayanya supaya saya tidak panik. Saya hargai semua itu dengan tetap tenang dan berhenti berasumsi buruk. Tapi kepala ini... kepala ini tidak berhenti menebak-nebak. Kecepatannya bahkan melebihi kecepatan saya menelan ludah dan bergumam.

"Tenny ajak Meira ya (baca: anak kami). Bawa baju ganti. Tenny sama Mei juga bawa baju ganti ya". Tengah malam seperti ini, ia meminta kami pergi ke Ibu sambil membawa baju ganti.  Ya Tuhan, dia kenapa? There must be something! "Mas... Mas kenapa?" Dan seperti dugaan saya, jawabannya, "Ga... ga ada apa-apa. Kesini ya, saya tunggu." Saya bergegas membangunkan anak, mem-packing pakaian dan peralatan MCK. Saya pun membawa bantal yang kami suka. Saya ga tahu kenapa saya pengen banget membawanya dan ga tahu apa kegunaannya. Jujur... saya hanya menuruti kata hati saya saja. 

Ternyata anak saya ga bisa ikut karena esoknya masih ujian. Saya melaju sendiri, saya pacu motor sekencang-kencangnya, berharap bisa melihat Mas segera. Lengangnya malam membantu saya sampai 15 menit lebih awal dari biasanya. Di depan pintu, saya berdiri diam. Saya mendengar suara Mas yang sedang berbicara pelan dengan kakaknya. Fiufff, terima kasih, Tuhan: menemukan suaranya saja, saya begitu senang. Tapi kenapa saya masih kuatir untuk masuk menemuinya ya?

Saya buka pintu perlahan, lalu saat melihatnya, mata saya membelalak, mulut saya menganga, dan sekonyong-konyong mata saya perih berair. Nafas saya berhembus tak teratur, dan saat helaan nafas akan memadu dengan teriakan, Mas menyalip lebih gesit, "Sudah ga usah nangis, ga ada apa-apa". Oh Tuhanku.... wajahnya jontorrr dan memarrr dari bawah mata hingga dagunya. Bibirnya pun robek dan bengkak seperti mau meletus. Kelihatan jelas, jaringan kulitnya cedera parah. Warna biru, ungu, dan kemerahan campur aduk di wajahnya, membuatnya kacau untuk dipandang. Pasti pembuluh darahnya yang rusak dan menggumpal di bawah permukaan kulit. Kakinya, ia letakkan di atas kursi. Itupun luka parah. Dengkulnya bengkak sekitar 3 cm, goretan luka menyebar sempurna di kulitnya yang terbuka. Kejadian itu membuatnya harus pemulihan selama dua bulan penuh, karena ternyata kepalanya pun cedera.

Mas sama sekali tidak ingat bagaimana ia jatuh dari motornya. Karena begitu lelah, tubuhnya memutuskan untuk shutdown secara otomatis tanpa peduli ia yang sedang motoran, berbelok setelah traffic light berubah warna menjadi hijau di lalu lintas yang begitu ramai. Ia baru sadar saat ambulance datang, dikebungi banyak orang, dan saat kepalanya begitu sakit. Dari posisi lukanya, kami tau bahwa ia jatuh ke arah kanan, tempat kendaraan-kendaraan berjejer siap untuk melaju setelah lampu merah berganti hijau. Karenanya nafas hidupnya adalah suatu keajaiban dan kesempatan baginya dan bagi kami keluarganya.

Peristiwa memilukan ini sungguh tak elok untuk diingat, tapi di sisi lain, kami justru mendapat hikmah darinya. Kami ditegur olehnya. Kami memang memerlukan lebih banyak uang untuk biaya renovasi rumah dan biaya pendidikan anak kami setelah SMA, dan karena masa produktif yang tak lagi panjang, kami pikir inilah saatnya kami bekerja lebih keras. Kami lupa bahwa kami pun harus menjaga anugerah lain yang diberikan Tuhan pada kami; tubuh, keluarga, sesama, lingkungan sekitar, dan kesehatan kami. 

Teguran dari peristiwa ini mengingatkan kami untuk bekerja tanpa memaksakan diri, menyeimbangkan hidup dengan aktifitas-aktifitas lain yang menyenangkan, dengan menaruh perhatian yang sama bobotnya untuk keluarga dan sekitar, sehingga organ-organ tubuh kami pun mampu me-recharge dirinya, bukan malah men-shutdown karena lelah yang begitu memuncak. Hikmah lain dari peristiwa ini adalah kami diingatkan untuk lebih sering mengungkapkan kasih pada pasangan dan keluarga kami. Mengungkapkan kasih dengan kata-kata yang positif dan menguatkan, dan dengan melakukan hal-hal kecil yang selama ini dianggap biasa dengan kasih, lebih sering memuji, dan menghargai dalam keseharian. Karena sampai kapanpun, kita tidak pernah tau kapan maut memanggil kita. Inilah hikmah tahun 2023 kami, pengingat dan teguran dariNya yang kudus.

Selamat merayakan Tahun Baru. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline