Lihat ke Halaman Asli

Catarina Tenny Setiastri

Ibu, guru, dan pejalan.

Gunung Adeng, 1826 mdpl. Bali: Teman Jalan Baru? Asikkah?

Diperbarui: 22 Januari 2024   19:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1800an mpdl: tapi nanjaknya menyakitkan hati.

Kami janjian bertemu di sebuah mart dekat patung jagung, Bedugul. Tempat ini biasa dipakai para pendaki untuk bertemu sebelum menuju tujuan. Ada beberapa gunung yang bisa ditempuh dari jalur Bedugul; Gunung Pohen, Gunung Adeng, Gunung Tapak, Gunung Pengelengan, Gunung Shanghyang, Gunung Lesung, dan  Gunung Catur. Jadi tak heran, dengan identitas yang tertebak - sepatu boots, trekking pool, dan ransel- kami saling sapa walaupun tak saling kenal. Kadang bahkan, setelah obrolan dengan teman baru, kami bisa mengganti tujuan pendakian. Biasanya, kami lakukan saat klik dengan teman baru sehingga bisa jalan bareng atau hanya sekedar supaya teman baru bisa mencicipi jalur pendakian yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.

Menghunus perut dedaunan.

Kali ini, saya janjian dengan Om Jay. Om Jay mengajak teman-temannya. Pun teman-temannya mengajak teman-teman yang lain juga. Getok tular. See... sebuah pendakian pun bisa seperti MLM, kan? Dapat temen baru, yang berarti akan dapatkan cerita dan pengalaman baru hari ini. Amazing! 

Sama Dik Daffa, "Ini kayag kupingnya kelinci ya?" 

Tapi o.. o.. pk 09.00 wita (waktu janjian untuk bertemu) telah lewat jauh. Belum juga kami beranjak dari meeting point ini. Salah satu teman dari teman temannya, belum sampai juga (wkwk, agak susah membahasakan kalau sudah sistem MLM). Batas kompensasi pun lambat laun memudar, dan kami memutuskan berangkat menuju start point. Dan jeng, jeng... pk 10.30 wita, kami baru mulai berjalan. Saat belum jauh berjalan, terdengar suara motor. Motor si 'ga on time' tibaSaya pandang teman-teman yang berjalan di depan saya. Ga ada yang menoleh ke arahnya ataupun say hello padanyaYa, ini sudah terlalu siang untuk pendakian Gunung Adeng. Benar-benar terlalu siang. Kami jelas tidak bisa makan siang tepat waktu di puncak nanti dan kami pun pasti akan kena kabut tebal dan hujan lebat, sesuatu yang sebenernya bisa dihindari. Jujur.. sebel banget kalo udah ada yang telat.

Puncak: Dik Daffa kedinginan dan lafarrrr.

Dan benar: kabut tebal dan hujan riuh berulang sebelum hingga kami sampai di puncak. Si 'ga on time' ternyata ngos-ngosan dan tertinggal di belakang. Tapi kali ini, kami ga tunggu lagi. Sepanjang jalur ga bercabang dan dia ga tertinggal jauh, aman. Mungkin dia harus mengalami dulu untuk paham bagaimana menghargai waktu. 

Pk. 13.30 wita, kami baru sampai puncak. Tidak ada tempat berteduh di puncak. Hanya ada pohon-pohon tinggi lebat yang baik, ikhlas menjadi tudung kami. Saya kalap. Rasa lapar membahana. Saya buka kotak makan dengan tambahan tetesan hujan sebagai kaldu. Sup daging dan tempe mendoan yang saya masak tadi pagi, justru terasa lebih maknyus dengan tambahan air hujan.  This is just like standing party.  

Tidak begitu lama kami di puncak. Setelah makan siang, doa, dan foto, kami jalan turun sebelum gelap menyengat. pk. 16.30 wita, kami sampai di start point, menghitung jumlah pacet di kaki dan melepas lelah di keluarga Bapak Dami, seorang petani dan peternak yang bersedia memberi tempat kami untuk menitipkan kendaraan.

Dari depan: Mas Jay, Mba Inten, saya, Mba Agung, dan Pak Agung.

Sebuah perjalanan tidak hanya membuahkan memori yang indah, juga note untuk kelebihan dan kekurangan berjalan bersama teman-teman baru. Kelebihan yang didapat, antara lain: menambah pertemanan, menambah pengalaman dari saling sharing saat melakukan perjalanan bersama, dan ada ide-ide baru untuk menu makan siang yang dibawa ke atas. Kekurangannya: kita ga tau kebiasaan teman baru kita, kadang kebiasaan seperti sering telat, itu membuat perjalanan yang telah direncanakan matang menjadi ga seasik sebelumnya. Karena telat di awal akan ber-impact  banyak; baik dalam soal waktu makan siang, cuaca yang di hutan basah yang tiap siang selalu berkabut dan hujan, ritme jalan yang berbeda, kabur akan kekuatan masing-masing, dan turun gunung di kondisi yang lebih gelap. Satu lagi, illfill yang ga terbendung.

Hujannya ga mau break, turun terus sampe di start point.

Di akhir cerita, keputusan kembali ke kita untuk menentukan teman jalan dalam suatu pendakian. Mau pilih teman yang pasti-pasti, selalu jalan dengan kelompok sendiri atau lebih terbuka untuk menerima dan mengenal teman-teman baru, yang tentunya memilik kebiasaan dan karakter unik yang tak terbak sebelumnya. Jadi jika harus memilih, mana yang kalian pilih?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline