Fenomena operasi warung makan atau warung remang-remang yang dilakukan oleh salah satu ormas ternama negeri ini tidak lagi terjadi di bulan Ramadhan kali ini. Khususnya warung makan yang buka siang hari menjadi luapan kemarahan unjuk disweeping ormas tersebut. Dengan dalih tidak menghormati kekhususuan bulan Ramadhan maka warung makan yang buka siang hari dipaksa untuk tutup. Dampaknya, banyak yang pro dan kontra dengan adanya sweeping warung makan yang buka siang hari di bulan Ramadhan.
Berbeda dengan di Pulau Dewata, maka pro dan kontra warung makan buka siang hari akan menjadi angin lalu. Pulau Bali dengan mayoritas penduduknya beragam Hindu, maka warung makan yang buka siang hari sudah menjadi hal yang biasa. Suasana Ramadhan pun tampak biasa-biasa saja. Warung makan baik milik pribumi atau pendatang akan buka seperti hari-hari biasa. Tidak ada perbedaan sama sekali. Perbedaan mencoloknya adalah menjamurnya para penjual takjil Ramadhan menjelang buka puasa.
Sepertinya toleransi berkembang tanpa hitam di atas putih. Di mana, ibadah puasa adalah hak ibadah pribadi, jadi ibadah puasa jangan sampai mengganggu mata pencaharian orang lain. Pemeluk agama Islam sebagai kaum minoritas, maka upaya atau himbauan orang atau lembaga Islam untuk menyuarakan kepada masyarakat agar menutup warung makan saat bulan puasa ibarat mencari jarum dalam jerami. Hal yang tidak mungkin dilakukan. Sulit sekali.
Oleh sebab itu, bagi anda yang sedang berpuasa di pulau Seribu Pura, maka anda tidak akan merasakan suasana Ramadhan. Kecuali, jika anda berada di kawasan kaum urban yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti kampung Jawa Denpasar, Kampung Islam Denpasar, Kampung Islam Gelgel Klungkung dan lain-lain. Meskipun demikian, warung makan tetaplah buka di bulan Ramadhan. Mereka beranggapan bahwa konsumen yang datang ke warung makan bukan hanya orang Islam saja. Masyarakat lokal yang beragama Hindu juga mempunyai hak untuk mengakses warung makan.
Ada beberapa fenomena penting kondisi warung makan di Bali. Jika warung makan dalam kondisi tutup maka sebagian besar pemiliknya adalah pendatang yang beragama Islam atau orang lokal yang sedang melakukan upacara persembahyangan.
Mengapa warung makan tutup siang hari di bulan Ramadhan? ada beberapa alasan penting, seperti : 1) Mereka yang beragama Islam secara kaffah (seluruhnya), maka apapun alasannya warung makan harus tutup siang hari untuk menghormati orang yang berpuasa; 2) Warung makan berada di kawasan mayoritas beragam Islam dan mereka menghargai masyarakat sekitarnya; 3) Pemiliknya adalah orang Jawa yang sedang pulang kampung maka warung makan tutup sementara hingga waktu yang telah ditentukan (sehabis lebaran).
Jika warung makan buka siang hari maka ada beberapa alasan, seperti: 1) pemiliknya orang lokal yang beragama Hindu dan para pendatang yang beranggapan bahwa puasa adalah urusan masing-masing pemeluk agama; 2) Warung makan milik orang lokal yang menyajikan kuliner khas Bali seperti lawar, babi guling dan lain-lain; 3) Penduduk pendatang yang membuka warung makan sebagai mata pencaharian.
Warung makan buka atau tutup siang hari di Bali juga merupakan toleransi beragama jika dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Tentu, warung makan yang tutup tidak menjadi masalah buat siapapun khususnya orang yang sedang berpuasa. Sedangkan, warung makan yang buka siang hari mempunyai alasan yang kuat dari sudut pandang agama yang dianutnya. Perlu adanya toleransi pendapat masing-masing.
Bagi warga lokal yang mayoritas beragama Hindu, warung makan buka siang hari merupakan tuntutan yang harus dilakukan untuk mencari nafkah. Mereka tidak mau mengganggu dan tidak mau terganggu dengan aturan agama lain yang datang ke Bali. Tetapi, warung makan warga lokal akan tutup jika ada peraturan adat atau keagamaan setempat seperti hari raya, upacara keagamaan dan lain-lain. Jadi, hanya aturan adat atau keagamaan yang bisa merekomendasikan warung makan warga lokal untuk tutup sementara tanpa paksaan.
Sedangkan, penduduk pendatang yang tetap membuka warung makannya pada siang hari juga mempunyai alasan kuat. Bukan hanya sebagai mata pencaharian, tetapi pemilik warung makan merasa bahwa konsumen bukan hanya warga pendatang yang beragama Islam tetapi warga lokal yang beragama Hindu dan pendatang yang beragama selain Islam juga membutuhkannya.
Pemilik warung makan berpikiran bahwa jika yang Muslim yang sedang berpuasa tidak makan di warungnya maka masih banyak warga lokal yang membutuhkan barang dagangannya. Itulah sebabnya, warung makan baik milik warga lokal maupun pendatang yang mayoritas dari pulau Jawa bebas menggelar dagangannya tanpa terpengaruh dengan orang lain yang sedang berpuasa.