Lihat ke Halaman Asli

Casmudi

TERVERIFIKASI

Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Karena Kompasiana, Saya Tersengat Aliran Listrik Semangat Menulis

Diperbarui: 20 September 2015   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini tepat 2 tahun saya berhubungan intim dengan Kompasiana. Tanpa kue ulang tahun yang bertabur krim dan lilin, tanpa sorak sorai undangan yang menandakan kegembiraan yang berlebihan serta tidak perlu mengundang sanak, saudara, handai tolan dan relasi bisnis untuk merayakannya. Namun, ada kado yang terindah buat momen “2 tahun saya meniti di jembatan hatimu, Kompasiana” adalah sebuah peningkatan rasa percaya diri dan semangat untuk terus berkarya dan berkarya.

Sejak bergabung di Kompasiana pada tanggal 20 September 2013 dan hingga kini telah banyak menerima ilmu yang tidak terhingga. Oleh sebab itu, perayaan hubungan spesial ini merupakan momentum terbaik untuk lebih merekatkan hubungan saya dengan Kompasiana. Bagi saya, 2 tahun adalah waktu yang pendek untuk merangkai cinta dan membingkai karya.

Ibarat dalam sebuah perkawinan, sebelum “jadian” sama Kompasiana, saya perlu menjajaki dahulu alias ta’aruf dengan Kompasiana. Lebih dari setahun sebelum saya masuk dalam jajaran jurnalisme warga (citizen journalism), Kompasiana telah menggoda dengan pandangan pertama dan mencuri hati saya. Saya telah menjadi “silent rider” dari link artikel-artikel yang nyangkut di “beranda” akun facebook saya. Entah penulisnya siapa, saya pun enjoy untuk membacanya. Tapi, anehnya saya belum berani untuk menjadi anggotanya. Alasannya, sangat klise. Saya minder sekali. Saya berpikiran bahwa semua artikel yang termuat dalam Kompasiana adalah buah karya orang-orang hebat. Kalau saya sih, bukanlah apa-apa. Meskipun sejak SMA saya sudah rajin menulis, tetapi keberanian untuk menulis artikel di Kompasiana masih jauh panggang dari api.

Keseringannya artikel-artikel Kompasiana yang nyangkut di beranda akun facebook saya merubah pikiran saya untuk menjadi bagian dari Kompasiana. Tidak ada tujuan apapun awal saya bergabung dengan Kompasiana. Bersamaan dengan kegelisahan saya tentang dunia pendidikan yang karut marut alias kongkalikong dalam penerimaan siswa baru membuat saya harus menuangkan unek-uneknya. Tentunya, unek-unek saya biar bisa dibaca orang banyak.
“Di manakah tempat terbaik untuk menuangkan unek-unek saya ini?” kalimat yang selalu telintas dalam pikiran saya.
“Mengapa nggak dicoba di Kompasiana yang sering nyangkut di beranda facebook saya yah?” jawabku sambil bergumam sendiri.

Akhirnya dengan mantap, saya menuangkan unek-unek tulisan perdana saya yang berjudul “Jalur Belakang: Jalan Tol yang Menciderai Kejujuran dan Mutu Reformasi Birokrasi Pelayanan Pendidikan“.  Artikel perdana tersebut published tanggal 20 September 2013 pukul 18:31:10 dan updated tanggal tanggal 24 Juni 2015 pukul 07:37:34 dengan jumlah hits sebanyak 182. Sedangkan komentar dan ratingnya masing-masing 0. Saat itu saya tidak berpikiran bahwa artikel dibaca orang atau tidak, masuk headline atau tidak, masuk trending artikel atau tidak. Yang saya tahu saat itu unek-unek saya sudah tersalurkan. Puas banget!

Seiring berjalannya waktu, saya mulai memahami bahwa di Kompasiana ada istilah Terverifikasi, Nangkring, Blog Competition, dan lain-lain. Saya pun mulai “berseluncur” di setiap jengkal laman Kompasiana. Mulai mencermati apa yang barusan terjadi atau beberapa hari belakangan dari artikel Kompasianer (sebutan jurnalis warga Kompasiana). Bukan hanya artikel yang menjadi headline atau pilihan yang saya pelototin, tetapi semua artikel yang baru tak luput dari sapuan mata saya. Mengapa? Karena ada hal yang membuat saya semakin kepincut alias sayang sama Kompasiana, yaitu: ternyata banyak Kompasianer adalah penulis-penulis hebat di bidangnya. Sebuah predikat yang terlalu bombastis bagi saya, entah bagi Kompasianer lain. Sebagai ilustrasi, di Kompasiana-lah saya seperti masuk dalam sebuah gedung perpustakaan yang meyuguhkan buku-buku bagus langsung dari penulisnya. Dari Kompasianer yang berjuluk pakar di bidangnya, politisi senior, pengamat politik, transportasi pendidikan hingga Kompasianer yang masih misterius berkumpul menjadi satu dalam sebuah “Kompasiana”.

Seakan-akan para Kompasainer berkata:

“Mas bro, ini loh tulisan gue. Nggak baca pasti elo rugi. Apa saja yang elo tanyain, akan gue jawab. Swear!”. Pintar dan baik bukan?

Pantesan, Kang Pepih Nugraha, sang pendiri Kompasiana menyebutnya sebuah etalase warga di mana kita bisa bebas mengambil ilmunya, tanpa merasa “kecolongan”. Justru yang membacaya semakin pintar dan Kompasianernya semakin giat untuk berkarya. Sebuah perumpamaan yang sarat makna.

Saya masih ingat betapa berita politik menjadi gaduh dan panas di Kompasiana. Apalagi saat Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) DKI Jakarta dan Pilpres (Pemilihan Presiden) tahun 2014 lalu. Tidak salah jika sang burung kecil dari ranah Serambi Mekah, Aceh “Kriko” menjadi ikon Kompasiana. Selanjutnya, tidak akan hilang dalam ingatan saya ketika Presiden Republik Indonesia ke-6 Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) “klarifikasi” habis-habisan atas tulisan Kompasianer “Sri Mulyono” yang menyudutkan dirinya. “Gila, sang Presiden membaca Kompasiana. Wah, tak bisa dipandang sebelah mata nih Kompasiana” pikirku saat itu.

Bukan hanya itu, betapa hebatnya tulisan tentang politik saat Pilpres 2014 para Kompasianer yang mampu menaikan rating alias daya tarik terhadap terpilihnya Bapak Presiden RI ke-7 Ir. H. Joko Widodo (Jokowi). Sebagai “rasa terima kasihnya”, sang pendiri Kompasiana Kang Pepih Nugraha dan beberapa Kompasianer pun diundang ke Istana Negara untuk bertukar pikiran dengan Sang Presiden. Tambah hebat bukan, Kompasiana?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline