Lihat ke Halaman Asli

Casmudi

TERVERIFIKASI

Seorang bapak dengan satu anak remaja.

“Memanusiakan” dan Melindungi Buruh Migran Indonesia (BMI)

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14300531501232572167

“Setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Pasal 27 ayat 2)

Sekarang ini, masalah buruh migran merupakan masalah serius yang harus ditangani oleh segenap elemen, baik Pemerintah, masyarakat maupun stakeholders yang berkepentingan. Benang kusut masalah buruh migran yang telah berjalan cukup lama harus diselesaikan sebaik mungkin, agar akar masalahnya bisa terdeteksi dengan baik. Di mata masyarakat Indonesia sendiri, buruh migran memang mengandung konotasi negatif, yang biasanya kita mengenal sebagai TKI atau TKW. Padahal, Badan Perburuhan Internasional atau International Labour Oranization (ILO) menggunakan istilah Migrant Worker. Sedangkan yang ada dalam UU nomor 39 tahun 2004 menyebutnya sebagai TKI. Jaringan Advokasi UU Perlindungan dan Penempatan TKI (JARI PPTKILN), menyebutnya sebagai Pekerja Migran.

Sektor buruh migran di negeri ini merupakan salah satu sektor penting yang mampu menggerakkan perekonomian di negara-negara ASEAN. Buruh migran dijuluki sebagai Pahlawan Devisa Negara. Sebuah predikat yang tidak dianggap sepele. Tetapi, kenyataannya sektor buruh migran tidak pernah menjadi perhatian yang serius. Bahkan, dalam skema ASEAN Economy Community (AEC) 2015 juga tidak nampak perhatian serius terhadap sektor ini yang mayoritas didominasi mereka yang bekerja di sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT), perkebunan dan kontruksi.

Perlindungan Hukum

ASEAN Economy Community (AEC) 2015 lebih mengakomodasi kepentingan dan mobilitas kelompok-kelompok kerah putih, seperti: pekerja akunting, arsitek, pariwisata dan tenaga kesehatan. Meskipun ASEAN memiliki ASEAN Declaration on the Promotion and Protection the Rights of Migrant Workers sejak 2007, tetapi masih terjadi kebuntuan ketika inisiatif untuk menginstitusionalisasikan ASEAN Committee on Migrant Workers (ACWC) terhalang perbedaan kepentingan antara negara-negara pengirim buruh migran (seperti: Indonesia dan Philipina) dengan negara-negara penerima (seperti: Malaysia dan Singapura).

Dalam konteks pemerintahan Indonesia yang baru, pesan yang jelas untuk memperjuangkan kepentingan buruh migran terungkap dalam forum ASEAN dan telah dinyatakan oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya di ASEAN Summit tanggal 12 November 2014 di Nay Pyi Taw,Myanmar. Dalam pidatonya menyatakan, “ASEAN harus memperkuat komitmen hak-hak warga negara kita. Indonesia berkepentingan terhadap Pemajuan dan Perlindungan Hak-hak Pekerja migran”. Tetapi, sepertinya implementasi pidato tersebut bagai daun yang tertiup angin. Perhatian terhadap perlindungan buruh migran masih sebatas wacana.

Perlu diketahui bahwa Arab Saudi telah menyetujui 5 (lima) perjanjian HAM internasional yang menetapkan bahwa negara harus menghapus diskriminasi ras dan gender, melindungi hak anak, melarang penyiksaan, dan mencegah serta menghukum pelaku perdagangan manusia. Perjanjian-perjanjian tersebut, antara lain: 1) Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW)/Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; 2) Convention on The Eliminations of Racial Discrimination (CERD)/Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial; dan 3) Convention Against Torture (CAT)/Konvensi Menentang Penyiksaan dan Protocol Trafficking.

Sedangkan, pada pasal 33 Peraturan Pemerintah (PP) No. 3 tahun 2013 tentang Perlindungan TKI di Luar Negeri, disebut dengan jelas bahwa pemerintah dapat melakukan penghentian dan pelarangan penempatan TKI jika berdasarkan empat alasan berikut: 1) pemerataan kesempatan kerja; 2) kepentingan ketersediaan tenaga kerja nasional; 3) keselamatan TKI; dan/atau 4) jabatan/pekerjaan tertentu yang tidak sesuai dengan kemanusiaan dan kesusilaan.

Semua kalangan berharap bahwa perlindungan terhadap buruh migran sebaiknya dilakukan dengan sepenuh hati. Agar hal-hal yang tidak diinginkan, seperti penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawiterhadap buruh migran sebelum dan sesudah bekerja di negeri orang dapat dipertanggung jawabkan. Bahkan, tindakan yang berujung hukuman mati bisa diminimalisir atau zero accident. Kita memahami bahwa hukuman mati merupakan pelanggaran HAM. Mengingat hak untuk hidup (right to life) merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dan dihilangkan dalam situasi apa pun (non-derogable rights). Ketentuan hak untuk hidup tersebut ini dapat dilihat dari Bill of Rights (UDHR, ICCPR dan ICESCR), termasuk juga diatur di dalam Konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945 pasca amendemen).

Alasan Kuat Menjadi Buruh Migran

Setiap masyarakat Indonesia menginginkan hidup yang bahagia. Apapun pekerjaan yang halal rela dilakukannya, asalkan kebutuhan keluarga bisa tercukupi. Salah satu pekerjaan yang dilakukannya adalah menjadi buruh migran. Memang, bekerja sebagai buruh migran bagai dua sisi mata uang. Sisi yang satu sangat tajam dan bisa melukai kita. Sedangkan sisi yang lain tumpul yang bisa menyelamatkan kita. Alias menjadi buruh migran memberikan dua dampak positif dan negatif yang harus kita terima. Jika keberuntungan (dewi fortuna) sedang bernaung di atas kita maka kejayaan dan kekayaan bisa kita terima dengan mudah. Tetapi, jika kita sedang “apes” maka kesengsaraan atau kematian sia-sia akan menimpa diri kita.

Menjadi buruh migran di luar negeri merupakan sebuah pilihan hidup. Masalah nasib, cita-cita, tekanan, impian, kebutuhan, panggilan, ikut-ikutan, peruntungan, maupun coba-coba merupakan sejumlah parameter kenyataan hidup yang pada akhirnya membawa seseorang untuk berniat menjadi buruh migran.Banyak resiko yang bisa dialami oleh buruh migran seperti mendapatkan perlakuantidak layak dari majikan, dipermainkan berbagai oknum kesana kemari, terjebak dalam kondisi "hidup segan mati tak hendak", tersesat di negara asing dan dicap "buronan" pemerintah setempat karena tidak adanya ijin kerja formal, dizalimi secara jasmani maupun rohani oleh pejahat kemanusian, dan diperlakukan selayaknya seorang budak. Padahal, banyak dari buruh migran yang bekerja diTimur Tengah adalah wanita lugu atau baik-baik yang memaksa untuk mengikuti tatanan kehidupan dan adat-istiadat yang beredar di negara tujuan.



14300531851884962069

Baik kejayaan maupun kesengsaraan sebagai buruh migran sudah sering kita lihat di sekitar kita. Bahkan, saya merupakan keluarga yang dikelilingi oleh saudara yang bekerja sebagai buruh migran. Adik kandung dan sepupu cewek saya bekerja sebagai buruh migran di Singapura. Mereka rela pergi keluar negeri dan meninggalkan keluarga, anak kandungnya dalam jangka waktu yang lama demi merenda mimpi mereka. Alhamdulillah, kebetulan keberuntungan selalu menaungi keluarga saya. Mereka mempunyai majikan yang baik hati dan bisa pulang ke kampung halamannya dengan membawa pundi-pundi uang untuk memperbaiki kehidupannya.

Saya memahami betul bahwa keluarga saya bekerja keluar negeri mempunyai alasan yang kuat. Mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik di masa depan seperti halnya buruh migran lain. Meskipun, menjadi buruh migran bukanlah impian yang direncanakan sejak dulu. Dalam kehidupan masyarakat, banyak alasan yang melandasi mereka mau menjadi buruh migran luar negeri, seperti:

1.Sulitnya mendapat pekerjaandi dalam negeri

Pendidikan formal yang rendah sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Sulitnya mencari lapangan pekerjaan yang cocok menyebabkan tingkat pengangguran yang tinggi. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga Agustus 2014 angka pengangguran mencapai 7,24 juta orang, berarti bangsa Indonesia memiliki masalah dengan ketersediaan lapangan kerja bagi warga negaranya.Lebih-lebih data pengangguran tersebut diprediksi akan terus bertambah karena pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat di kisaran 5,01%.

Oleh sebab itu, lapangan pekerjaan yang ada tidak mampu menampung pekerja lokal merupakan faktor utama penyebab pengangguran. Kalaupun bisa bekerja, kenyataannya gaji yang diperoleh tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain, perempuan kita adalah sosok yang selalu memahami keadaan suami dan tidak mau tinggal diam untuk membantu kebutuhan keluarga. Di mana, kebutuhan hidup yang ada, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan dan lain-lain belum bisa dipenuhi secara layak. Akhirnya, banyak perempuan atau suami yang mengambil inisiatif bekerja di luar negeri. Masyarakat menyadari betul bahwa dengan bekerja di negeri sendiri belum mampu menghasilkan pundi-pundi yang diharapkan.

2.Mencari penghasilan yang besar

Pada umumnya penghasilan sebagai buruh migran atau TKI/TKW yang resmi di luar negeri cukup besar jumlahnya.Apabila dibandingkan dengan penghasilan UMP (Upah minimum Provinsi) atau UMR (Upah Minimum Regional) di Indonesia, maka penghasilan seorang TKI/TKW mungkin bisa mencapai berkali-kali lipat.Penghasilan besar itulah yang merupakan salah satu faktor pendorong masyarakat Indonesia mau menjadui buruh migran di luar negeri. Tetapi, perlu diperhatikan adalah jika para TKI/TKW tidak dapat menyesuaikan gaya hidupnya dengan biaya hidup di tempatnya bekerja yang pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan di kampung halamannya, maka penghasilan besar pun akan habis juga tanpa tersisa.

3.Mencari pengalaman kerja

Lowongan pekerjaan yang memberikan penghasilan di atas UMP mensyaratkan pengalaman kerja satu tahun atau lebih di bidang yang sama.Hal ini tentu akan sulit sekali dipenuhi oleh orang-orang yang baru lulus sekolah atau yang belum pernah bekerja di perusahaan resmi. Terlebih lagi bagi mereka yang mempunyai pendidikan rendah, bekerja dengan gaji tinggi bagaikan pungguk merindukan bulan. Sedangkan, bekerja sebagai buruh migran, tidak dibutuhkan pendidikan yang tinggi atau syarat pengalaman kerja. Sebelum diberangkatkan ke negara tujuan kerja, para buruh migran akan diberikan pelatihan yang akan memberi bekal keterampilan sesuai bidang kerjanya.

4.Kemiskinan

Kemiskinan merupakan faktor utama rendahnya tingkat pendidikan. Di desa-desa, masih banyak ditemukan masyarakat yang berpendidikan hanya setingkat SD dan SMP. Mereka tidak bisa bersekolah lebih tinggi karena faktor biaya. Kondisi tersebut sebagai penyebab mereka mencari pekerjaan yang tidak perlu sekolah tinggi dan ijazah formal. Lowongan menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT) dan kuli bangunan di luar negeri menjadi peluang tersendiri bagi masyarakat berpendidikan rendah. Oleh sebab itu, kemiskinan yang berdampak kepada sumber daya manusia dan tingkat pendidikan menjadikan jalan pintas bagi masyarakat untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Mereka tidak berpikir resiko terburuk apa yang akan mereka alami. Kebanyakan mereka berpikir, musibah bisa datang di masa saja dan sebagai takdir Tuhan. Ketidaktahanan dalam menghadapi kemiskinan menuntut mereka menjadi buruh migran di luar negeri. Apalagi godaan gaji di luar negeri jauh lebih besar dibanding di dalam negeri dengan pekerjaan yang sama membuat mereka tidak berpikir dua kali. Hal terpenting adalah mereka bisa pulang ke kampung halamannya dengan membawa segudang impian.

5.Rayuan Sponsor atau Perekrut di tingkat bawah

Para sponsor atau perekrut adalah orang yang ditugaskan oleh PPTKIS untuk mencari calon buruh migran di tingkat yang paling bawah. Mereka bekerja dengan berbagai cara agar orang-orang di desa mau bekerja di luar negeri. Tak jarang para sponsor atau perekrut menawarkan pekerjaan di negara tujuan tertentu dengan imbalan gaji yang sangat menggiurkan. Bahkan ada juga PPTKIS yang memberikan fasilitas kemudahan terlebih dahulu kepada calon buruh migran. Misalnya dengan memberikan uang pesangon. Uang pesangon tersebut bisa digunakan oleh si calon buruh migran, ataupun oleh keluarganya yang ditinggalkan di rumah. Teknik perekrutan yang demikian memang cukup ampuh untuk menarik calon buruh migran. Adik saya pun menjadi buruh migran tidak mengeluarkan biaya apapun. Semuanya di tanggung sponsor. Tetapi, gaji per bulannya jika dikurskan ke dalam rupiah kurang lebih 3 juta rupiah selama menjadi buruh migran di Singapura tidak bisa diterima selama 6 bulan. Masa kontrak kerjanya selama 2 tahun dan bisa diperpanjang lagi.

6.Mengikuti jejak sukses buruh migran lain.

Kesuksesan yang kongkret memang selalu ingin ditiru oleh orang lain. Sama halnya dengan menjadi buruh migran.Melihat kesuksesan buruh migran lain, menjadi daya tarik tersendiri bagicalon buruh migran. Buruh migran yang sukses bisa dilihat dengan mata telanjang, seperti: rumah bagus, kendaraan baru, bisa menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi, bisa membeli tanah dan sawahdan lain-lain merupakan hal menggiurkan bagi mereka yang belum pernah pergi ke luar negeri. Artinya, sesuatu yang kelihatan akan menjadi hal yang sangat mudah untuk menarik orang menjadi meniru jejak mereka. Dan jejak sukses para buruh migran yang ada di sekitar kita bisa ditiru oleh orang lain.

7.Gaya hidup

Gaya hidup konsumerisme menuntut setiap orang untuk memiliki segalanya. Banyak dari masyarakat Indonesia pergi ke luar negeri tak lagi beralasan karena kondisi miskin, tidak ada pekerjaan, mengikuti jejak sukses tetangga, tetapi karena gaya hidup. Mereka tidak mau tersaingi oleh orang lain. Kita sering melihat orang yang baru pulang dari luar negeri dengan penampilan yang sangat modis dan trendy bak artis Korea, baik dari sisi pakaian, sepatu, bau parfum, dandanan rambut maupun penampilan fisik. Kondisi tersebutbagi anak muda menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk bekerja di luar negeri.

8.Terlilit hutang

Banyak pelajaran dari kehidupan, seperti: gagal menjadi kepala desa atau, bangkrut dalam usaha kemudian mempunyai hutang menumpuk, bisa menjadi penyebab orang menjadi buruh migran. Apalagi, kondisi pikiran yang tegang karena terlilit hutang menjadi alasan orang berangkat ke luar negeri. Anggapan banyak orang bahwa dengan menjadi buruh migran di luar negeri akan segera cepat untuk menutup hutang adalah faktor yang menjadikan semangat mereka apapun resikonya. Negara tetangga dan Asia lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Hongkong dan Taiwan banyak menjadi tujuan mereka. Negara-negara di Timur tengah pun, seperti: Arab Saudi dan Kuwait juga menjadi tujuan idaman. Ada yang berangkat secara illegal maupun legal.

Semua memahami bahwa masyarakat Indonesia menjadi buruh migran menginginkan sesuatu yang bahagia demi keluarganya. Namun, kebahagiaan tentang indahnya mendulang rupiah di negeri orang bukanlah selalu indah yang dibayangkan setiap orang. Tidak henti-hentinya kita mendengar, melihat dan merasakan betapa hebatnya musibah yang menimpa saudara-saudara buruh migran kita. Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan mengatakan setidaknya masih ada 229 orang buruh migran tersebar di beberapa negara yang terancam hukuman mati. Akibatnya, bukan mimpi indah yang mereka raih. Bukan jutaan rupiah yang mereka dapatkan. Tetapi, berbagai penyiksaan atau tindakan biadab majikan telah menghapus mimpi indah mereka. Bahkan tidak sedikit, mereka pulang ke kampung halaman atau tanah air dalam keadaan tidak bernyawa. Sungguh kejadian yang tidak kita harapkan.

Butuh Perhatian Kita

Rentetan keprihatinan bangsa Indonesia terhadap nasib buruh migran tak pernah habis. Duka terhadap kasus buruh migran yang bekerja di luar negeri (seperti: Saudi Arabia) terulang kembali. Eksekusi mati (hukum pancung) secara beruntun Pemerintah Saudi Arabia terhadap Siti Zaenab buruh migran asal Bangkalan, Madura tanggal 16 April 2015 dan Karni BintiMedi Tarsim buruh migran asal Brebes (Jawa Tengah) tanggal 17 April 2015 tanpa pemberitahuan resmi kepada Pemerintah Indonesia dan keluarganya benar-benar sangat menyakitkan dan melukai hati bangsa Indonesia.

14300532341923172391

Perlu diketahui bahwa Siti Zainab dieksekusi mati di Kota Madinah, Arab Saudi pada pukul 10.00 tanpa ada pemberitahuan sebelumnya pada Pemerintah Indonesia atau perwakilannya di Arab Saudi. Siti Zainab berangkat ke Arab Saudi 7 Maret 1998 dan diberangkatkan oleh PT. Banyu Ajisakti. Ia bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di tempat keluarga Abdullah Muhsin Al Ahmadi. Siti Zainab divonis mati pada 8 Januari 2001 atas tuduhan pembunuhan terhadap majikan perempuannya, Nauroh binti Abdullah. Sedangkan, Karni Bt Medi Tarsim dijatuhi vonis hukuman mati (qishas) oleh Mahkamah Umum Yanbu pada bulan Maret 2013 dengan Amar Putusan Persidangan No. 34206523 atas tuduhan pembunuhan terhadap anak majikan.

Kita memahami betul bahwa buruh migran yang bekerja ke luar negeridan melakukan tindakan di luar kewajaran karena dilandasi oleh alasan dan sebab yang jelas. Seperti, kondisi buruh migran yang bekerja sebagai PRT di Arab Saudi secara umum sangat tidak layak dan manusiawi. Mereka bekerja lebih dari 18 jam kerja, tanpa hari libur dan terbatas akses komunikasi. Tindakan di luar batas-batas kemanusiaan yang paling mengerikan adalah perlakuan majikan yang tidak manusiawi menjadi faktor utama yang melatar belakangi tindakan pembunuhan, seperti kasus Darsem, Ruyati, dan Satinah. Bahkan, tindakan membunuh yang dilakukan oleh Siti Zaenab dilandasi dengan sebab yang menguatkan. Siti Zainab terpaksa membunuh majikan untuk membela diri dari penganiayaan yang diterimanya di rumah majikan.

Hukuman mati yang diterimaburuh migran di luar negeri memberikan persepsi kepada masyarakat betapa tidak berdayanya dan ketidakseriusan Pemerintah dalam memberikan perlindungan terbaik terhadap buruh migran. Banyaknya buruh migran kita yang terancam hukuman mati di negeri orangdikarenakan diplomasi Pemerintah Indonesia yang lemah. Apalagi, lobi dalam rangka menyelamatkan WNI dari hukuman mati seringkali tidak diupayakan secara maksimal. Harus diakui bahwa apapun yang terjadi atau dilakukan oleh buruh migran di negara tujuan, pemerintah RI tetaplah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan maksimal baik dalam bentuk pendampingan hukum, upaya hukum maupun non-hukum (lobi/diplomasi).

Harus dipahami terlebih dahulu bahwa buruh migran yang bekerja ke luar negeri bukan bermaksud untuk membunuh. Mereka terpaksa melakukannya pasti ada penyebab besar yang melatarbelakanginya. Sayangnya informasi mengenai penyebab pembunuhan tersebut sangat miskin sekali, sehingga upaya hukum dari pembela hukum dan upaya diplomatik gagal total. Ditambah lagi mengenai seleksi pengacara yang menjadi ujung tombak pembelaan hukum, publik juga tidak tahu seberapa jauh kualitas pengacara yang diperbantukan untuk membela. Sehingga kasus-kasus tersebut selalu berakhir dengan hukuman mati yang menimpa buruh migran atau diyat atau tebusan yang tidak memenuhi aturan syariat atau tidak masuk akal (100 ekor unta, dan bila pelakunya perempuan maka separuhnya). Bahkan, kita pernah mendengar dan melihatnya tentang nasib buruh migran kita yang terancam hukuman mati di Saudi Arabia karena dituduh membunuh, keluarga korban meminta tebusan puluhan milyar rupiah.

Tindakan yang dilakukan buruh migran berhubungan dengan kasus hukum di negeri orang bukan hanya terletak pada kesalahan buruh migran tersebut. Tetapi, negara dan PPTKIS/PJTKI berperan penting mendorong terjadinya situasi yang membuat buruh migran terpaksa melakukan tindakan di luar kehendaknya sehingga menghadapi ancman hukuman mati. Hal-hal yang menjadi pemicu kondisi tersebut, di antaranya:

1.Pemerintah yang bertindak sembrono dengan memberikan izin kepada PPTKIS untuk menempatkan buruh migran ke luar negeri tanpa mempertimbangkan apakah negera tujuan memiliki aturan perlindungan buruh migran atau Bilateral Agreement (nota kesepahaman). Sebagai catatan, saat ini dari sekitar 60 negara tujuan penempatan buruh migran, pemerintah Indonesia baru memiliki MOU dengan 12 negara tujuan penempatan.

2.Pemerintah tidak bisa mengontrol biaya penempatan yang logis dan terukur yang dibebankan kepada majikan. Sebagi informasi, selama ini majikan di Arab Saudi diberi beban biaya kurang lebih 30 jutaan dan pasca moratorium kurang lebih 60 jutaan). Kondisi inilah yang memberikan stigma negatif terhadap majikan merasa seolah-olah telah membeli buruh migran dan bertindak seperti praktik perbudakan.

3.Sebagian alokasi biaya penempatan yang menjadi tanggungan majikan dipergunakan untuk pelatihan dan belanja alat peraga yang jumlahnya mencapai 6 jutaan. Sayangnya alokasi untuk itu tak dilaksanakan oleh PPTKIS/PJTKI, sehingga buruh migran tidak terampil dan berujung pada banyaknya kekerasan fisik, seksual, gaji tidak dibayar dan sebagainya. Apalagi masalah bahasa menjadi faktor penting untuk menjalin komunikasi dengan majikan di Negara tujuan.

4.Pemerintah seharusnya menekan atau memberikan sanksi ketika PPTKIS yang tidak melaksanakan fungsi perlindungan dalam bentuk pemantauan secara berkala (6 bulan sekali dan 3 bulan jelang kepulangan). Sebagai informasi, Pada saat diskusi tripartit, Nusron Wahid, Kepala BNP2TKI sempat mengatakan bahwa hingga bulan Desember 2014 tidak ada satupun PPTKIS/PJTKI yang memberikan laporan pemantauan buruh migran.

5.Proses layanan pengaduan tentang kondisi buruh migran yang diselenggarakan pemerintah masih berprinsip sekedar memenuhi kewajiban atau formalitas saja. Sedangkan tindak lanjut dari pengaduan tersebut sangat tidak berpihak kepada buruh migran. Ditambah lagi, akses terhadap buruh migran di luar negeri sangat sulit untuk dilakukan.

6.Yang mengagetkan adalah kerjasama penempatan buruh migran antara Indonesia-Arab Saudi baru terjadi pada akhir masa jabatan Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar sekitar bulan Februari 2014. Padahal penempatan ke negera kaya minyak itu sudah terjadi sejak lama.

14300532781005112142

Tetapi, di tengah hiruk pikuk nasib yang memilukan dan pandangan sebelah mata terhadap buruh migran, ada sisi yang luar biasa yang perlu menjadikan inspirasi. Ternyata, di samping menjalani kesibukan sebagai buruh migran di luar negeri, tetapi masih banyak juga buruh migran kita yang peduli dengan pendidikannya, seperti melanjutkan pendidikan sarjana. Mereka berharap setelah pulang ke tanah air bisa memberikan kontribusinya terhadap masyarakat. Kita juga mendengar buruh migran yang melanjutkan pendidikan sarjana, bahkan S2 dan menjadi dosen setelah kembali ke tanah air. Banyak juga buruh migran yang menjadi wirausaha dengan bekal yang diperoleh selama menjadi buruh migran di luar negeri.

Jadi, sudah saatnya kita menghentikan pandangan yang mencibir keberadaan buruh migran di sekitar kita. Pandangan terhadap buruh migran yang berpendidikan rendah dan tidak mempunyai ketrampilan harus kita buang jauh-jauh. Ternyata, mereka mempunyai kelebihan yang luar biasa di balik stigma negatif. Setiap tahun mereka telah menyumbang devisa negara puluhan milyar rupiah terhadap pemasukan dalam negeri.Mereka juga berkontribusi meningkatkan tarap perekonomian masyarakat. Di balik sisi kelam buruh migran, mereka telah menyelamatkan jutaan manusia untuk menggapai impiannya. Sudah saatnya Pemerintah dan stakelholders yang berkompeten melindungi hak-hak buruh migran. Perlindungan yang maksimal yang diterima buruh migran seharusnya sebanding dengan jasa mereka terhadap negara. Perlindungan sebelum dan sesudah pulang kembali ke tanah air adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima buruh migran. Sikap “memanusiakan” dan melindungi mereka adalah sisi humanisme yang harus kita bayar kepada mereka.

"Tulisan Ini Diikutsertakan Lomba Blog Buruh Migrant Indonesia Bersama Melanie Subono"

Referensi:

http://bandung.bisnis.com/read/20150418/34239/531826/229-buruh-migran-terancam-hukuman-mati?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter&dlvrit=1252155

http://buruhmigran.or.id/2015/04/16/negara-dan-pptkis-berkontribusi-terhadap-hukuman-mati-buruh-migran/

http://buruhmigran.or.id/2015/04/16/tki-karni-dieksekusi-mati-di-arab-saudi-hari-ini/

http://migrantcare.net/2015/03/13/fgd-asean-economic-community-2015-dan-agenda-perlindungan-buruh-migran/

http://www.seruni.or.id/2014/09/mengapa-bekerja-di-luar-negeri/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline