Lihat ke Halaman Asli

Gerutu Sepatuku

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The Shoes (Ind) Suatu hari, aku berada di sebuah ruangan besar. Disana berkumpul banyak sepatu. Semua sepatu memiliki sepasang mata dan sebuah mulut. Ruangan tersebut ribut karena semua sepatu berbisik satu sama lain sampai sebuah sepatu besar memasuki ruangan. Sepatu ini berukuran tiga kali ukuran sepatu yang lain. Dia mengenakan jubah dan wig seperti seorang jaksa. Dia berdiri didepan ruangan dan memandang tajam kearah semua yang hadir di dalam ruangan. Disana aku terlihat berbeda dengan yang lain. Selanjutnya si jaksa berteriak meminta perhatian. Suaranya lantang menggema ruangan. Aku merasakan ruangan bergetar karenanya. Semua sepatu diam terhening. Selanjutnya si Jaksa melanjutkan kata-katanya, “Semua para sepatu wargaku, disini ada dua buah sepatu yang meminta keadilan, dan seorang manusia sebagai tersangkah. Silahkan, kalian bertiga maju ke depan!” Beberapa waktu aku melihat sekeliling, dan semua sepatu memandangiku. Disana ada sepasang sepatu, yang satu rambutnya dikuncir dua seperti gadis kecil dan yang satunya lagi memakai topi seperti anak laki-laki. Sepertinya aku mengenal sepasang sepatu ini. Kemudian aku baru ingat kalau sepasang sepatu ini adalah sepatuku yang kupakai setiap hari. Kita bertiga berjalan ke depan dan berdiri didepan ruangan. Sepatu laki-laki berkata, “Yang Mulia, pertama-tama, kita ini marah karena laki-laki ini memakai kita setiap hari, 7 hari dan 24 jam. Dia tidak memberi kita istirahat. Kita berdua lelah dan bau.” Mata besar mereka melototiku. Aku tidak dapat berkata-kata karena aku tahu apa yang sedang dia utarakan. Selanjutnya, sepatu gadis melanjutkan, “Dia dan saudaranya bergantian memakai kita untuk berkerja. Mereka tidak pernah mencuci kita sejak dibelinya.” Semua sepatu yang hadir berbisik dan menjijik. Dan ruangan mulai ramai lagi. “Diam!” Teriak Jaksa. “Kamu, manusia, giliranmu membela.” Aku terkejut dan gemetar. Aku mengambil nafas dalam dan mulai berbicara, “Yang Mulia, saya adalah seorang laki-laki miskin. Saya tinggal bersama saudara saya di ruangan kecil yang kita sewa. Keluarga saya hidup jauh disebrang. saya  mempunyai seorang ibu, ayah, dan lima saudara lagi. Mereka semua membutuhkan bantuan saya untuk menopang hidup. Jadi saya bersama saudara saya harus sangat bijaksana dalam pemakaian uang karena selain kita butuh untuk keperluan sehari-hari, juga kita butuh untuk dikirim ke keluarga di sebrang.” Aku menghentikan kata-kataku sejenak dan memandang sekeliling. Semua sepatu yang hadir terlihat simpati. Kemudian aku melanjutkan, “Untuk alasan ini, saya dan saudara saya bekerja keras setiap hari. Kita hanya mempunyai sepasang sepatu. Kita bergantian dalam memakainya sehingga kita tidak berboros dalam uang. Saya bekerja di pagi hari dan saudara saya bekerja di malam hari, atau sebaliknya. Oleh karena itu kita tidak mempunyai waktu untuk memcucinya.” Aku merasa menyesal ketika menjelaskannya. Hal itu karena sebelumnya tidak pernah terbersit dalam pikiranku. “Yang Mulia, saya memohon maaf kepada sepasang sepatuku karena hal ini. Saya tidak pernah berpikir mereka mempunyai perasaan seperti ini sebelumnya.” Kepalaku tertunduk karena penyesalanku. Semua kerumunan terdiam membisu. Setiap sepatu memandang satu sama lain. “Perhatian!” teriak Jaksa memecahkan keheningan, “Untuk kalian berdua, para sepatu wargaku, aku dapat merasakan kepahitan kalian tetapi tolong pahami juga kondisi manusia ini. Jadi maafkanlah dia dan berilah kesempatan lagi untuk memerbaikinya. Dan untuk kamu, anak manusia, kamu seharusnya mengambil hal ini sebagai pelajaran. Setelah ini kamu harus manjaga dan membersihkan baik-baik semua milikmu, khususnya terhadap apa saja yang telah membantu dalam hidupmu.” Aku tidak berkata apa-apa, hanya menganggukkan kepala. Ketika terbangun, aku merasakan keanehan. Aku merasakan diriku masih berbaring di tempat tidur. Aku duduk sejenak dan mengingat-ingat atas apa yang terjadi di dalam mimpi. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan merubah caraku memperlakukan sepatuku. Kemudian aku melihat kearah jam, masih belum pukul lima pagi. Belum  terlihat saudaraku diseliling. Biasanya dia pulang setelah pukul lima. Aku bangkit dari tempat tidur dan menyiapkan diri, menunggu saudaraku datang, dan selanjutnya berangkat bekerja




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline