Lihat ke Halaman Asli

Indonesia: Sebuah Imajinasi atas Indahnya Keragaman

Diperbarui: 8 September 2016   06:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

These updates help protect you in an online world

Pernyataan di atas terbaca di layar monitor begitu proses instalasi up date OS terbaru usai. Di tengah semburan cahaya biru dari layar komputer, berulang-ulang saya baca pernyataan tersebut dan sebuah gagasan bertunas di kepala.

Di satu sisi, pernyataan itu merupakan sebuah klaim kalau up date OS terbaru mampu memperkuat sistem pertahanan komputer secara teknis. Pertanyaan saya, mampukah ia melindungi saya dan juga generasi muda in an online world secara ideologis?

Literasi Media Kaum Muda dan Propaganda Ideologi Intoleran

Seorang pengamat teorisme, Noor Huda, menyebut kalau gerakan radikal yang berorientasi pada aksi kekerasan menempuh cara baru dalam merekrut anggotanya, yaitu melalui jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, Youtube dan Skype.  Metode perekrutran ini jelas menyasar generasi muda yang akrab media.

Tingginya tingkat literasi media kaum muda merupakan satu simpulan yang dapat ditarik dari survey yang digarap Setara Institute tahun lalu. Survey atas 684 pelajar dari 141 Sekolah Menengah di Jakarta dan Bandung itu mengungkapkan bahwa 67% dari responden menjadikan internet sebagai sumber informasi, 52% sering berkanjang ke dunia maya dan 8,2% selalu terhubung ke sana (di sini ).

Aspek positifnya, generasi muda sudah melek media. Namun demikian, apakah kesadaran media ini juga disertai dengan sebuah penghargaan akan perbedaan, kesadaran akan keberagaman yang tak terelakkan? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi kian mendesak ketika kita dihadapkan pada dua contoh nyata yang terjadi di masyarakat.

Contoh pertama datang dari survey Setara Institute sebagaimana disebutkan di atas. Selain memperlihatkan tingginya literasi media kaum muda, survey tersebut juga menyuguhkan sebuah fakta bahwa 8,5% responden setuju kalau dasar negara, Pancasila, diganti dengan keyakinan atau agama tertentu. Contoh kedua berasal dari survey yang dibuat Wahid Institute dan Lembaga Survey Indonesia tahun ini. Survey itu melibatkan 1.520 responden yang tersebar di 34 provinsi se-Indonesia. Berdasarkan kajian atas survey tersebut dapat ditarik sebuah simpulan bahwa 0,4 persen penduduk Indonesia pernah melakukan tindakan radikalisme dan 11 juta orang berpotensi melakukan tindakan yang sama ( di sini).

Kabar baiknya adalah mayoritas penduduk Indonesia masih memegang teguh dasar hidup bersama yang diwariskan oleh para Bapa pendiri bangsa, Pancasila. Tetapi, mengingat data di atas, warisan ini bukan sekedar pemberian tetapi juga panggilan atau tugas tiada henti.

Di sinilah pertanyaan bagaimana merawat kerukunan umat beragama di jaman media sosial menemukan relevansinya. Jika software komputer perlu di up date terus menerus melawan serangan kaum hacker dan sejenisnya, yang perlu di up date dalam diri pengguna media sosial, khususnya kaum muda, adalah piranti mentalnya, yang meliputi nalar dan rasa.

Piranti nalar mencakup, pertama-tama cara memahami keragaman yang de facto dan de jure hadir di Bumi Pertiwi. Artinya, perlu sebuah upaya untuk menemukan paradigma baru untuk memaknai kesatuan dalam keragaman. Piranti rasa berkenaan dengan relasi antar manusia sebagai mahluk sosial. Hal ini terkait dengan kemampuan setiap pribadi dan golongan mengolah perbedaan menjadi kekayaan bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline