Lihat ke Halaman Asli

Tuangan Pikiran Hasilkan Darah

Diperbarui: 15 November 2016   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bunyi senjata memekikkan telinga, “Sial! Gak sesuai sasaran.” Sujito mengeluh dan berbalik ke markas Aki milik Jepang. Ia duduk sambil mengusap keringatnya sambil menarik kursi berkaki besi yang mengerinyit di lantai, “Itadakimasu!” sahut seluruh prajurit Heiho dengan membungkuk 90 derajat. Seluruh prajurit mengangkat rahang seakan tersenyum bahagia karena mereka mendapat makanan yang cukup dari pemerintah Jepang, suatu hal yang sangat berbeda pada saat masa penjajahan Belanda.

Usai makan siang, Sujito dan semua prajurit melanjutkan pelatihan prajurit yang diberikan Jepang. “Apakah pilihan ini tepat? Kurasa, mungkin ya.” Sekilas konflik membenahi pikiran Sujito, tetapi langsung diacuhkan olehnya. “Maju, jalan!” teriak sang kapten. Beberapa prajurit terlihat kesulitan dan menapakkan kaki yang salah maupun tangan yang salah. Sujito menghela nafas, terdengar suara pesawat tempur melintasi angkasa.

***

Hari itu adalah hari genap 7 bulan, November 1943. Sujito berjanji untuk bertanggung jawab sebagai prajurit. Siang itu, Sujito memisahkan diri pada saat waktu istirahat, duduk di padang rumput, dan menyicipi kopinya yang hampir dingin. Di benaknya terlintas, “Apakah yang aku lakukan ini benar? Kenapa kita rasanya semakin miskin?”. Sekarang pikiran tersebut hampir setiap saat muncul saat Sujito sedang menikmati waktu kosongnya, awalnya pikiran tersebut selalu ia singkirkan, merasa ia harus bersyukur kepada Allah atas rezeki yang diterimanya. Tetapi, seiring waktu berjalan, dugaan-dugaan akan propaganda yang dilakukan oleh Jepang semakin terasa. Awalnya Jepang memang terlihat seperti memberikan kemakmuran dan kesuburan. Kebijakan demi kebijakan pun dirilis dalam bentuk program-program di bidang politik, ekonomi, pendidikan, hingga militer dan semi militer. Hal yang akhir-akhir ini ia pikirkan dan tebak semakin terlihat juga. Hanya saja, ungkapan tersebut menuai perbedaan pendapat.

“Sujito!” teriaknya. “Ela?” respon Sujito yang tersentak atas sahutan Ela, kekasihnya. “Bengong aja sih. Mikirin apa?” Sujito melambaikan tangannya dan meresponnya dengan senyum kecil, topik ini akan memancing pertengkaran jika diungkit lagi. “Tidak,” Ela mengangguk dan meletakkan rantang makanan di depan Sujito yang duduk menyilang. “Dimakan ya. Tadi aku sempat buatin makanan sebentar, komandan Fujinkai berikan waktu kosong cukup lama hari ini.” ujar Ela.

“Makasih ya, La.” Sujito mulai membuka rantangnya dan membaginya bersama dengan Ela.

***

Air di langit hampir habis, musim menginjak teriknya matahari, angin kering menyapu pipi. Sujito membereskan sebagian besar pakaiannya dan segala kebutuhannya. “Herman, sesuai rencana, pukul 01.00 pagi.” Herman mengacungkan jempol tanda setuju. “Ibumu sakit apa sih, To?” tanya Herman, teman satu kamarnya di asrama prajurit Heiho.

“Ibu ada masalah di bagian lambung, karena itu saya harus pulang.”

“Oke, To. Tenang, serahin aja sama Herman. Keluar asrama selamat,” cengir Herman sambil menepuk dadanya. Herman memang dikenal sebagai prajurit yang sering membuat masalah, terkadang hal tersebut cukup menganggu menurut Sujito. Tapi kali ini, Hermanlah satu-satunya harapan.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline