Lihat ke Halaman Asli

Republik Go Blog

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini cuma bercandaan. Ini bukan seriusan. Serius, ini cuma bercanda. Bercanda, kalo ada yang bilang ini serius. Intinya, saya bercanda dan tidak serius.

Ini adalah kisah dari Republik Go Blog—yah, filosofi namanya tidak terlalu jelas diketahui, yang pasti kata blog disini bukan mengacu pada layanan web yang mirip diary di dunia maya—republik yang damai dan asri, seperti republik-republik lainnya. Namun, Republik Go Blog ini punya ciri khas yang benar-benar unik. Seluruh penduduknya memiliki nama belakang yang sama, yaitu Go Blog. Adapun seseorang jarang dikenal dengan nama aslinya. Pada umumnya, penduduk di Republik ini dipanggil sesuai nama profesinya. Tidak sulit, karena penduduk di negara ini cuma sedikit, dan semuanya memiliki profesi yang berbeda-beda. Jadi, di Republik ini tidak ada yang namanya si Andi, si Anto, dan si si lainnya. Tinggal panggil saja, Pak Pilot Go Blog, Ibu Penjahit Go Blog, dan seterusnya. FYI, Republik yang asri ini dipimpin oleh seorang wanita muda, Ibu Presiden Carmia Go Blog.

Suatu hari di Republik Go Blog, terjadi sesuatu yang cukup menggemparkan. Tuan Gajah Abu-Abu Go Blog memilih meninggalkan Republik ini untuk hijrah ke Taman Satwa Zambia. Alasan pertama, katanya mau tunangan dengan pacarnya lalu berkeluarga di sana. Tapi alasan kedua yang katanya mendasari alasan percepatan pertunangannya itu adalah, karena beberapa waktu belakangan ini Tuan Gajah Abu-Abu Go Blog terlibat perkelahian dengan Geng Semut Manis Go Blog yang terdiri dari empat puluh lima personil.

Setelah diusut oleh Yang Mulia Hakim Go Blog, ternyata kasusnya bermula ketika Tuan Gajah Abu-Abu Go Blog menggunakan belalainya yang panjang untuk mengambil buah jambu di pohon yang letaknya persis di samping basecamp Geng Semut Manis Go Blog. Para semut merasa terkesima dengan kemampuan Tuan Gajah Abu-Abu Go Blog, lantas mereka minta diajari cara mengambil jambu di atas pohon.

Tuan Gajah Abu-Abu Go Blog yang baik tidak keberatan. Setiap hari—dari pagi hingga petang—ia mengajari semut-semut manis itu mengambil jambu dengan menggunakan belalainya. Para semut yang tidak punya belalai tentu tidak bisa melakukan atraksi seperti yang dilakukan Tuan Gajah Abu-Abu Go Blog. Disinilah masalahnya, Tuan Gajah Abu-Abu Go Blog dimarahi dan diprotes habis-habisan oleh para semut karena dianggap tidak becus mengajar. Padahal, Tuan Gajah Abu-Abu Go Blog sudah mengajarkan semaksimal mungkin sesuai apa yang bisa ia lakukan. Akhirnya mereka bertikai dan beritanya tersebar luas ke seluruh penjuru Republik Go Blog.

Akhirnya masalah ini terdengar juga di Republik Indonesia, hingga datanglah saya, Kadalkecil, menjumpai Ibu Presiden Carmia Go Blog di istananya. Niatnya, ingin mencari tahu. Ada apa sebenarnya dibalik masalah tersebut. Saya terkesima sekali dengan keindahan Istana Presiden Republik Go Blog ini. Apalagi dengan sambutan hangat yang diberikan oleh Ibu Presiden Carmia Go Blog. Beliau memberi saya welcome drink berupa segelas wedang jahe rasa coklat susu yang rasanya mmm... anforgetebel.

Okay, back to masalah Tuan Gajah Abu-Abu Go Blog versus Geng Semut Manis Go Blog. Sebenarnya saya, Kadalkecil, juga tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Wong katanya Tuan Gajah Abu-Abu Go Blog sudah mati ditabrak jerapah di perbatasan Antiokhia. Mati dalam perjalanan ke Zambia dan batal tunangan.

Jadi, saya cuma bertukar cerita dengan Ibu Presiden Carmia Go Blog. Saya menceritakan tentang permasalahan serupa yang ada di Republik saya, yaitu Republik Indonesia. Tapi kalau di Republik saya, nama mereka bukan Gajah atau Geng Semut, melainkan guru versus geng siswa. Masalahnya lebih kompliketit daripada masalah di Republik Go Blog ini.

Geng siswa memprotes para guru besar-besaran. Mereka kumpul uang untuk cetak banner, bikin kaos, sebar sticker, dan pasang balyhoo yang besarnya dua kali lapangan sekolah. Di dalam banner yang mereka gantungkan disana-sini, terdapat beberapa nama guru yang kemudian dicoreti dengan pillox. Mereka berseru sepanjang hari, “Turunkan guru kami!”

Kemudian, guru-guru di kantor mogok mengajar. Mereka merasa kalau mereka sudah memberi yang terbaik untuk mengajar para siswa. Tetapi terus-terus para siswa tidak puas. Padahal, gaji mereka amat kecil. Untuk beli satu tronton tissue untuk mengelap air mata saja belum cukup. Tetapi, tekanan yang diberikan amat berat untuk mereka penuhi.

Geng siswa tidak mau tahu. Guru-guru harus diturunkan, kata mereka. Si guru pun tidak mau tahu, karena mereka memilih untuk berhenti mengajar sama sekali. Yah, gayung bersambut. Akhirnya, kepala sekolah turun tangan. Ikutnya dia menjadi mediator bagi geng siswa dengan para guru. Namun, hasilnya garuk kepala. Apa memang sudah budaya atau tren zaman, entahlah.

Masakan para siswa tidak terima dinasehati. Mereka merasa pendapat mereka sudah benar. Keadaan mereka paling terpuruk di dunia. Sistem diminta mengerti dan berkompromi terhadap kelemahan mereka. Sebenarnya bukan suatu kelemahan, melainkan keengganan untuk berubah. Dibilangnya kami nggak ngerti apa yang Bapak Ibu jelaskan. Dibilangnya Bapak Ibu salah menjelaskan. Padahal buku teks pelajaran dari hari pertama hingga hari terakhir kuartal sungguh bersih tanpa noda. Bahkan noda sidik jari pun tidak ada. Betapa keengganan yang mereka ameliorasikan menjadi kelemahan.

Para guru sama juga, mereka tidak mau berubah dari prinsipnya semula, padahal belum tentu prinsip itu benar. Mereka menuntut gaji yang ditambah lagi. Menurut mereka, bayaran yang kecil seperti yang mereka dapatkan belum worthed apabila harus menjelaskan materi dengan profesional. Gaji kecil begitu, imbalan yang setimpal hanyalah memberi catatan dan latihan yang yah, paraf saja cukuplah. Tidak perlu lukis angka di dalamnya. Oh, digugu dan ditiru bagi mereka hanyalah mata kuliah waktu di IKIP dulu.

Well, yang kasihan adalah mereka yang benar. Siswa yang benar mau mengikuti pendidikan tetapi gurunya tidak mendidik melainkan hanya mengajar. Atau guru yang benar mau mendidik dan mengajar tetapi siswanya terus menerus kurang ajar dengan menolak pendidikan.

Kasihan, oh kasihan.

Ibu Presiden Carmia Go Blog tersenyum mendengar cerita saya. Ia bilang cerita Tuan Gajah Abu-Abu Go Blog masih ada lanjutannya. Katanya Geng Semut Manis Go Blog, setelah ditinggalkan oleh Tuan Gajah, berusaha sendiri untuk menikmati jambu di atas pohon tersebut. Jadi mereka berbaris gandeng tangan sepanjang batang pohon. Saling tarik dan dorong untuk mencapai puncak pohon. Jambu berhasil mereka capai. Memang tidak mereka petik, tetapi mereka gerogoti satu per satu hingga habis lenyap. Lho, mengapa begitu gampangjambunya dihabiskan? Ternyata Tuan Gajah Abu-Abu Go Blog menahan dedaunan pohon dengan belalainya, agar jangan goyang-goyang.

Oalah, ternyata jauh sebelum Tuan Gajah Abu-Abu Go Blog pergi ke Zambia, masalah ini sudah mereka selesaikan dengan damai. Hanya Ibu Presiden Carmia Go Blog yang mengetahuinya. Seluruh penduduk Republik Go Blog—selain beliau—mengira hijrahnya Tuan Gajah dikarenakan masalah tersebut, padahal sesungguhnya tidak. Tuan Gajah memang resmi hendak bertunangan dengan pacarnya, Nona Gajah Zambia.

Tertipu saya. Saya tertipu. Saya kira saya mampu memberi solusi bagi mereka karena Republik saya, Republik Indonesia, jauh lebih maju daripada Republik Go Blog. Ternyata sebaliknya, saya yang pulang membawa solusi dari mereka. Dari Republik Go Blog.

Mari membaca, mari tertawa, mari berkaca.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline