Lihat ke Halaman Asli

Carlos Nemesis

live curious

Dekriminalisasi Penduduk Kampung Kota

Diperbarui: 18 November 2017   10:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemandangan Pelataran Masjid Agung Bandung. Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015

Kampung kota adalah suatu bentuk permukiman di wilayah perkotaan khas Indonesia dengan penduduk masih membawa sifat dan perilaku kehidupan pedesaan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat, tentunya diikuti dengan kondisi fisik bangunan dan lingkungan yang cenderung tidak beraturan (organis), serta memiliki kerapatan bangunan dan kepadatan yang tinggi (Sastroasmito, 2009).

Kampung kota memiliki ciri khas sebagai perumahan informal (yang berarti perumahan yang muncul tanpa adanya perencanaan dari instansi formal), sehingga sering kali kita sebagai orang awam memandang kampung kota sebagai perumahan yang tidak layak huni.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kampung kota tersusun dari perumahan yang sangat padat, dan juga sering kali kita mendengar berita kampung kota jadi sumber terjadi kebakaran karena tata ruang perumahan yang tidak benar, ya itu ada benarnya. Itu akan benar jika kita hanya memandang dari kekurangannya saja, tahukah pembaca mengenai potensi tersembunyi yang dimiliki oleh orang-orang di kampung kota yang tidak dimiliki orang yang tinggal di perumahan teratur?

Kampung kota terdiri dari orang-orang yang masih memiliki semangat guyub. Di tengah tingginya gedung-gedung perkantoran ibukota, di sepanjang jalan arteri utama yang dipenuhi dengan taman yang dipenuhi dengan orang-orang yang tidak saling kenal, di antara orang-orang yang memilih untuk membangun pagar-pagar tinggi untuk pekarangan rumahnya, kampung kota meretas semua hal keindividuan yang merebak di seluruh kota. 

Semangat kekeluargaan yang menjadi ciri khas penduduk kampung kota menjadi ciri setiap harinya. Struktur ruang yang padat, rumah yang saling bersinggungan saling terbuka tanpa pagar menjadikan orang-orang di dalamnya semakin mengenal satu sama lain. Karena hal yang paling sulit untuk didapatkan pada masa sekarang bukanlah tentang ekonomi moneter, juga bukan modal bisnis untuk membuka usaha, tetapi modal sosial untuk bekerja sama. Itulah yang dimiliki oleh teman-teman kita yang berada di kampung Kota.

Tapi tak jarang kita memandang kampung kota hanyalah sebagai permukiman kumuh tidak layah huni yang sudah sepantasnya digusur. Gusur saja karena tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Penduduk Kampung Kota di Bawah Apartemen Cihampelas. Sumber : Bandung, Dokumentasi Pribadi, 2015

Baiklah sebelum kita membandingkan antara peraturan perumahan yang pemerintah berikan, tahukah anda bahwa pemerintah saja tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat Indonesia. Backlog kebutuhan rumah total penduduk Indonesia pada tahun 2014 menurut BPS sebanyak 13 juta yang harus dipenuhi. Untuk memenuhinya dilakukan secara bertahap per tahunnya sebanyak 1 juta unit rumah.

Yang tetapi lagi 40% dipenuhi oleh privat, 20% oleh pemerintah sehingga hanya 60% yang terpenuhi = setiap tahunnya akan selalu ada backlog perumahan. Persentase pemenuhan yang sedikit oleh pemerintah juga patut kita pertanyakan, kita sama-sama tahu bahwa privat menginginkan keuntungan setinggi-tingginya,  lalu yang butuh rumah sebenarnya siapa ya? Apakah golongan menengah atas yang jadi target sektor private, atau masyarakat golongan pendapatan rendah yang tidak jadi target pemenuhan rumah oleh private? Sehingga tantangan pemenuhan perumahan menjadi berkali-kali lipat (dan ada isu juga pendataan perumahan oleh kementerian PUPR dan BPS berbeda....pelik sekali permasalahan perumahan ini)

Berdasarkan argumen saya diatas, pemerintah masih belum sanggup menyediakan perumahan formal bagi masyarkat. Masyarakat yang tidak bermodal cukup tidak diam begitu saja menunggu "berkah" subsidi pembangunan rumah dari pemerintah, mereka harus bertahan hidup untuk memeroleh tempat tinggal yang layak.

Muncullah permukiman "informal" di setiap sudut perkotaan yang banyak orang-orang tidak berumah. Informal disini harus dibedakan dengan kriminal, sama halnya dengan sebutan antara Slum dan Squatter (slum = pemukiman yang kumuh menempati status tanah legal, Squatter = permukiman yang mungkin kumuh tetapi lebih penekanan kepada tempat tinggalnya di tanah yang ilegal).

Masyarakat kampung kota memutuskan untuk membangun rumah dengan tanpa perencanaan yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan pemerintah, karena pemerintah tidak turut campur dalam pembuatannya/sudah dibangun sejak dahulu bahkan sebelum ada standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Informalitas permukiman terjadi karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan perumahan formal bagi mereka yang mendesak membutuhkan tempat tinggal. Jadi sekarang tidak bisa kita begitu saja menyalahkan orang-orang yang tinggal di daerah Kampung Kota.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline