Lihat ke Halaman Asli

Carlos Nemesis

live curious

Kepemimpinan Jokowi = Kepemimpinan Trump = ala bussinesman

Diperbarui: 12 November 2016   02:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://kilasmaluku.fajar.co.id/

Terdapat perbedaan mendasar dari pemimpin yang mengutamakan ideologi politik dan bisnis. Kepemimpinan Obama/Demokrat yang sangat memperhatikan ideologi (kebebasan, supremasi hukum, hak kebebasan pribadi) sangat terlihat melalui program dalam negeri berupa ObamaCare dan intervensi Amerika dalam sengketa luar negeri seperti konflik Suriah, Laut Cina Selatan, Ukraina, bahkan hingga dugaan pelanggaran ham di Papua. Memang sudah menjadi sifat alami politik ideologi yang ingin menjaga keseimbangan secara pelan-pelan dan membangun. Berbeda dengan politik bisnis yang menginginkan get things done dan orientasi profit. 

Latar belakang Trump sebagai pebisnis kelas dunia dapat menggeser cara Amerika berpolitik menjadi politik bisnis. Kebijakan untuk menurunkan pajak bagi orang kaya sudah menjadi indikasi dari orientasi profit yang ingin digerus sebanyak-banyaknya. Make America Great Again, slogan ini dapat menjadikan kita rujukan bahwa Trump akan berfokus dalam membenahi sistem perekonomian dalam negeri dan Pence yang berfokus ke bagian luarnya. Ketika kita berbicara politik luar negeri maka Amerika kemungkinan besar akan menginterfensi permasalahan yang dapat memberikan profit saja. Rusia akan semakin memiliki kebebasan dalam mengekspansi negara sekitarnya mungkin? Atau bahkan Papua yang akan terpisah dari Indonesia untuk memberi keuntungan maksimal bagi Amerika (bahaya sekali jika kedaulatan Papua tidak dijaga, bisa lepas begitu saja dengan kekuatan Amerika).

Lalu bagaimana dengan pemimpin kita Pa Jokowi? Latar belakangnya sebagai small businessman terlihat dampaknya dalam setiap langkah kebijakan yang dilakukan, dan sangat kentara. Pembangunan infrastruktur di segala tempat ditujukan untuk meningkatkan perekonomian, tanpa adanya perbaikan secara struktural untuk meningkatkan kualitas tenaga kerjanya. Kalau bercontoh ke negara Tiongkok mengapa mereka bisa membangun kereta cepat bukanlah menjadi pemantik untuk ekonomi, namun lebih dalam lagi dengan reformasi institusi dan sumber daya manusianya. 

Langkah Jokowi untuk membangun infrastruktur dengan skala nasional juga hanya mengingini get things done, bukan rahasia lagi bahwa pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung menggunakan tenaga kerja Tiongkok, dan juga hasil pabrikan yang berasal dari Tiongkok. Dapat dilihat bukan bagaimana Jokowi bekerja secara businessman dan belum mencapai ranah idiologi. Alasan bahwa infrastruktur diadakan untuk mengakomodir kebutuhan 250 juta penduduk Indonesia memang benar adanya. Tapi tolong diingat lagi bahwa setiap bantuan program dari pihak asing pasti ada bawaan yang juga bertujuan menguras keuntungan.

Pembuktian keduanya adalah dengan penunjukan Menko Kemaritiman baru yakni Luhut Binsar Panjaitan. Hasil ekspor perikanan Indonesia di tahun 2015 tidak mencapai target (hanya mencapai angka 4 miliar dolar dari 5.8 miliar dolar). Padahal di eranya ini Jokowi sedang gencar membangun infrastruktur dan butuh dana yang banyak. Penurunan ekspor ini diakibatkan karena Mentri Susi yang gencar membakar kapal tangkap ikan ilegal (yang bagus untuk menjaga kedaulatan negara). 

Namun dengan ditunjuknya Menko Luhut diproyeksikan pengawasan penangkapan ikan ilegal akan semakin dilonggarkan agar keuntungan ekspor meningkat kembali untuk pembangunan (asumsi ini hanya akan terbukti di akhir tahun 2016 nanti apakah terjadi penurunan penangkapan kapal ilegal, kita lihat saja nanti) dengan latar belakang politik dan kemanan Luhut akan memiliki kekuasan yang lebih pasti.

Dan yang paling mengambarkan bukan lain adalah kebijakan tax amnesty, penerimaan APBNP semester ini sangat mengkhawatirkan (hanya mencapai target 42.5%) sekali lagi untuk melanjutkan pembangunan agar selesai, kita terpaksa harus mengampuni para penunggak pajak. Memang katanya tax amnesty Indonesia salah satu yang paling berhasil di Indonesia, tapi toh nyatanya sudah habis juga digunakan, dan dana pembangunan kita masih kurang juga. Ideologi struktural kita semakin dikorbankan saja.

Sikap memimpin Jokowi seperti ini mirip sekali dengan tokoh Donal Trump yang get things done denan tujuan "bisinis"Kekhawatiran yang akan muncul terhadap pemimpin kita ini adalah, Pa Jokowi ini akan menganggap dirinya yang paling benar dan cenderung otoriter dalam berpemimpin. Kasus 4 November yang disulut oleh aktivitas media sosial memunculkan wacana akan diadakannya sensor dalam menggunakan media sosial (padahal setiap orang bebas untuk berpendapat, namun langkah cepatnya ya langsung saja dibatasi kegiatan berpendapatnya yang menjadi pondasi demokrasi kita, bukannya merumuskan kebijakan yang lebih beranah struktural). Semoga tulisan ini menjadi pengingat kepada Pa Jokowi, anda dan juga saya untuk benar-benar bertindak secara lebih dalam dan berjangka panjang.

Carlos Nemesis

Masih mahasiswa strata satu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline