Lihat ke Halaman Asli

Yeni Kurniatin

if love is chemistry so i must be a science freaks

Menjaga Kewarasan Pikiran dan Perasaan Selama Masa Pandemi

Diperbarui: 10 Mei 2020   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anjuran tidak membeli berlebihan. Dokumentasi Pribadi

Memasuki hari ke-17 puasa Ramadan 1441 H, Bulan kelima masehi dan bulan ketiga  saya dan seluruh warga bumi bersatu melawan Covid-19 dengan sering berdiam di rumah. 

Seperti hari sebelumnya, setelah sholat ashar Bapak langsung menyalakan televisi. Kebiasaan baru Bapak gara-gara pandemi ini. Selesai menyaksikan Pak Jubir melaporkan keadaan terkini, Bapak terlihat kesal. 

Bapak kesal lantaran masih banyak yang tidak mematuhi protokol kesehatan.  Masih banyak ditemukan orang bergerombol. Ngabuburit. Lalu-lalang tanpa menggunakan masker membeli takjil.

Dampak laporan pak jubir akan diterima bapak dengan berbeda-beda. Bisa kesal, bisa panik, marah dan berbagai luapan emosi negatif lainnya. Dan ini membuat saya hariwang. Bapak adalah seorang pensiunan yang sekarang berusia 72 tahun. 

Namun, tak jarang saya pun ikut terbawa emosi. Tulang sendi ikut ngilu, kepala mendadak pening, jantung berdebar tak karuan.  Terlebih jika mendengar beberapa teman yang terdampak nyata secara ekonomi. Jika kehidupan sosial dibatasi, masih bisa bertahan. Jika ekonomi  seseorang terusik, bisa menimbulkan kegelisahan dan berujung huru-hara.

Bekerja di Rumah (WFH) dan dirumahkan. Dua frasa yang sama-sama mengandung kata rumah, tetapi dengan pengertian berbeda. Alhamdulillah, puji syukur bagi yang masih bisa bekerja di rumah. Karena banyak yang di luar sana yang bernasib dirumahkan. Bahkan tidak ada kepastian lagi kapan mereka bisa bekerja kembali.

“Meninggal karena tertular atau karena kelaparan?” Ujar teman saya dengan lemas. Pilihan yang cukup sulit. Menjelang Idul Fitri pula.

Memasuki bulan Mei, teman saya, seorang ibu dengan dua anak, dirumahkan. Dengan gaji 50%, beras 10 kg, dan mie instan satu dus. Dia bekerja di sektor manufaktur. Satu sektor yang ikut terdampak karena Covid-19. Teman-teman yang berada di sektor fashion, konveksi, craft sudah meradang diawal. Teman-teman yang bergelut dibidang kuliner masih tertolong dengan pesanan online. Meskipun jumlah omset tidak sebesar pada kondisi normal.

Pada akhirnya pademi ini bukan tentang virus yang menyerang imunitas, melainkan merengut sisi paling sensitif dalam kehidupan. Yakni kehidupan perekonomian.

Ukuran lebih kecil dari renik. Tapi kekuatannya sungguh dahsyat. Banyak Negara yang kalang-kabut dibuatnya. Eropa yang menjadi acuan Negara maju, dibuat tak berdaya. Pun Amerika, sebagai Negara adi kuasa. Virus ini  tak hanya menyerang Imun saja, melainkan menyerang iman juga, dan menipiskan kesabaran. Dampak paling nyata adalah Covid-19 yang paling terasa adalah terkurasnya isi tabungan masing-masing.    

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline