Meskipun tidak mengikuti sholat Jumat, tetapi kami bisa ikut mendengarkan khotbah melalui pelantang suara mesjid yang diarahkan ke seluruh penjuru mata angin. Volume suaranya paling pol. Nyaring sekali. Jika perlu terdengar sampai langit ketujuh. Agar malaikat tidak perlu turun ke bumi untuk menilainya. Sungguh mulia hati pengurus mesjid, memikirkan orang-orang yang seharusnya mengikuti sholat Jumat tetapi tidak bisa. Sehingga mereka masih bisa mendengarkan khotbah Jumat. Sambil leha-leha di warung kopi.
Sayangnya tingkat kenyaringan pelantang suara tidak berbanding lurus dengan konten ceramah. Kala itu yang dibahas mengenai telur palsu. Saya yang mendengarkan nun di kejauhan hanya bisa tersenyum pahit. Duh, mau dibilang malu-maluin takut kualat juga.
Kejadian berita-berita bohong menjadi pasokan bahan ceramah tidak sekali dua kali saya temukan. Bahkan sekitar enam bulan lalu, berita bohong yang tersebar di media sosial hampir menelan korban di daerah kami. Pada hari Minggu, sebelum adzan subuh. Rumah Pak RW dijadikan tempat evakuasi. Mereka hendak melampiaskan napsu kesumat pada seorang anak muda 'yang diduga anggota partai terlarang'. Mereka takut anak itu akan menganiaya guru ngaji kami. Padahal kejadiannya, anak tersebut kemalaman. Mau mengunjungi pamannya. Untung Pamannya datang karena penasaran dengan keributan di pagi buta. Ternyata malah menemukan keponakannya yang dianiaya. Jika telat, mungkin anak itu sudah tinggal nama.
Mereka para pemuda yang percaya kebangkitan partai terlarang dan pasukan tenaga asing yang merebut lahan pekerjaan mereka. Sehingga daripada bekerja mereka lebih sering kongkow tidak karuan. Setiap hari kerjanya hanya bergerombol di sisi gang. Menghujat sana-sini, mengeluh. Ketika adzan berkumandang, mereka masih ngobrol sambil merokok.
Menurut saya mah bukan pasukan tenaga asing yang merengut lahan pekerjaan. Banyak perusahaan menggunakan aplikasi untuk memudahkan dalam mengontrol bisnisnya. Sehingga lebih efisien dan mudah ditelusuri. Setor tunai sudah bisa ke ATM tidak perlu ke teller. Komplen bisa langsung telpon tidak perlu antri ke costumer service. Banyak lahan pekerjaan kita yang diganti oleh mesin.
Sejak awal kemunculan di media sosial mengenai telur palsu ini sungguh sulit dipercaya. Begitu pula dengan berita-berita palsu lainnya yang banyak memakan korban. Membuat telur palsu tidak murah. Jika dijual harganya berapa? Jika yang palsu mahal. Mengapa kita harus berpaling dari yang asli. Aneh kan? Yang lebih aneh, berita-berita bohong itu dijadikan referensi ceramah keagamaan.
Mungkin saatnya Menag ngajak mereka ngopi. Jika saya menjadi Menag itu yang akan saya lakukan itu. Mengajak mereka ngopi bersama. Merangkul semua lapisan penggiat kegiatan keagamaan.
- Para penceramah di dunia nyata dan dunia maya. Termasuk di dalamnya para artis atau selebgram (yang mengaku sudah atau dalam proses hijrah) yang sering mengutip hadist dan ayat untuk dijadikan caption. Lalu pada bagian bawah ditulis MUA by @xxx, gamis by @yyy, kerudung by @zzz. Thanks to @aaa untuk tasnya yang cantik. Terkadang saya bertanya pada diri sendiri. Benarkan tulisan itu sebagai pengingat diri sendiri sesuai tagarnya atau sang artis kehabisan ide untuk menulis (padahal bisa menyewa jasa content writer yaaa). Atau ini sebagai manifestasi "akan datang suatu zaman di mana ayat diperjualbelikan." Sungguh saya tidak mengerti.
Selama ini diskusi keagamaan sering kali bersifat seremonial, maka bila menjadi Menag saya akan mengajak mereka bicara, saling mendengarkan dan berbagi mengenai banyak hal dalam suasana santai dan damai.
Isi agenda ngopi-ngopi jika saya jadi menteri agama diantaranya akan seperti ini:
- Sebagai sosialisasi program Kementrian Agama. Contohnya sosialisas penggunaan pelantang suara alias speaker. Banyak yang tidak mengetahui mengenai adab penggunaann pelantang suara. Padahal melalui Bimas Islam sudah ada aturannya. Mengapa hal ini harus diatur? Jika tidak diberitahukan asal-usulnya akan menjadi simpang siur. Ketidaktahuan ini dapat dimanfaatkan menjadi upaya untuk memicu membelah persatuan dan kesatuan.
- Meminimalisir penipuan berkedok biro perjalanan umroh dan haji. Tertipu pada seseorang yang pakaian agamis. Kalau perlu saya minta dibuatkan aplikasi khusus untuk mengurus umroh dan haji. Agar kejadian ini terulang.
- Selama ini banyak orang yang berbekal pengalaman masa lalu kemudian mengaku bertobat sudah bisa menjadi penceramah. Tinggal cuap-cuap di media sosial, menjual kisah masa lalu. Semua dibiarkan liar begitu saja. Saya adalah salah satu orang yang mengusulkan sertifikasi untuk para penceramah. Ketika kemarin Kemenag memberikan referensi penceramah. Saya menyambut baik. Sayangnya yang lain ketakutan. Dengan sertifikasi berharap dapat menghindari hal-hal yang merugikan. Seperti kasus penipuan umroh di point nomor 2. Padahal sudah banyak profesi yang menjalani sertifikasi selain guru. Ada apoteker, notaris, motivator. Bahkan jomblo agar berkualitas harus disertifikasi. Betul gak?? Mengapa harus menolak, bukankah dengan sertifikasi kemampuan akan meningkat. Bukankah para penceramah ini harus tetap update ilmu? Agar tidak mengutip berita bohong untuk mengisi ceramahnya. Dengan berkumpul nanti bisa merumuskan bagaimana proses sertifikasi untuk penceramah ini agar tidak ada yang tersinggung seperti yang kemarin.
- Menertibkan sumbangan-sumbangan yang mengatasnamakan pendirian tempat ibadah. Bisa mengetahui jumlah mesjid dengan pasti dari yang ikut ngopi. Tujuannya bukan untuk mengontrol dalam tanda petik. Sekarang kan zaman rezim. Kata tetangga saya juga. Ah, zaman rezim mbahmu. Jika Kemenag mempunyai program beasiswa buat anak-anak pengurus mesjid. Jika Kemenag punya program Umroh dan haji gratis untuk pengurus mesjid. Jika Kemenag punya program biaya rehabilitasi mesjid gimana kalau tidak kebagian? Gak kebagian nanti ngomel-ngomel merasa dianak tirikan. Playing victim. Daripada jadi peminta-minta dipinggir jalan. Dan ternyata uang hasil sumbangannya berlabuh entah kemana. Lebih baik ikutan ngopi sama Menteri.
Saya juga akan mengundang guru-guru yang mengajar di SD, SMP IT (Islam Terpadu). Ooooh, bukan soal arahan memilih seperti kasus yang terjadi di Bekasi kemarin. Soal pilihan dalam pilkada itu urusan hati. Tidak perlu arahan. Saya miris, ketika mendengar anak kecil bercerita mengenai pertempuran di timur tengah sana dan pembantaian etnis tertentu. Mereka mengetahuinya karena disuguhkan video dari para guru. Lalu mulai bibit kebencian muncul dalam diri mereka. Menurut saya tidak tepat menyuguhkan video kekerasan pada anak kecil. Secara mentah-mentah begitu. Eh, sudah begitu ternyata video yang diputar adalah video hoax juga.