Lihat ke Halaman Asli

Yeni Kurniatin

if love is chemistry so i must be a science freaks

Merdeka atau Belum

Diperbarui: 17 Agustus 2015   06:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hingga mencapai 70 tahun, masih saja ada yang meragukan apakah bangsa ini sudah merdeka atau belum?

Coba tengok berita hari ini. Sore tadi saya sempat melihat di dua stasiun TV, presenter yang cantik dan ganteng memulainya dengan kalimat itu, "apakah kita sudah merdeka?" kurang lebih seperti itu. 

Jika saya sendiri ditanya apakah bangsa ini sudah merdeka atau belum? Tentu saja saya akan menjawab Bangsa ini sudah merdeka, tidak perlu diragukan lagi mengenai hal itu.

Meskipun kemerdekaan yang diperoleh dari para pejuang tanpa lelah sampai mengorbankan jiwa dan raga sering kali kita selewengkan. 

Kita itu sudah merdeka gak perlu diragukan itu. Saking sudah merdekanya banyak orang yang salah kaprah memaknai kemerdekaan ini. Misalnya dengan membuang sampah sembarangan ke sungai. Ke got,  digeletakan di jalan.  Dengan Merdeka, tanpa merasa bersalah. Jika banjir datang, penyakit bermunculan. Itu adalah saatnya menyalahkan pemerintah.

Kita merdeka menyerobot hak-hak orang lain. Contoh sederhananya menyerobot trotoar buat pejalan kaki. Menyerobot Zebra Cross, sampai para pejalan kaki mau nyebrang susaaah bukan main. 

Bebas menghujat. Ah, ini apalagi. Entah mengapa para pemuda-pemudi alim yang saya kenal koq sekarang menjadi beringas. Di medsos bebas merdeka menghujat. 

Buat para oknum wakil rakyat dan aparat, merdeka mengambil uang rakyat. Seperti di berita sore tadi yang prolognya diawali dengan kalimat "apakah kita sudah merdeka?" untuk menyampaikan sebuah berita tentang kesulitan akses pendidikan padahal lokasi dekat dengan ibukota. Ada lagi berita yang menginformasikan desa  terpencil, terkucil yang kesulitan mulai dari air, raskin pun tidak mereka dapatkan. Si Ibu nara sumbernya bilang, kalau desa mereka sering kali jadi sasaran utama kampanye jika musim pemilu datang. Tapi pemilu berlalu, janji itu tinggal janji. Bulan madu hanya mimpi. Saya sih, malah kepikiran jangan-jangan hak mereka itu masuk ke kantong oknum-oknum itu. Jadi bukan tidak diperhatikan.

Kita gak perlu bangsa asing seperti jaman merebut kemerdekaan dulu untuk merengut banyak nyawa pejuang bangsa ini. Kita malah membunuh dengan perlahan bangsa sendiri. Memasukan formalin, pewarna textil, bangkai, makanan kadaluarsa ke dalam perut kita tanpa sadar. Banyak oknum yang mengatas namakan himpitan ekonomi tega meracun bangsanya sendiri. Makanan itu dikasih pula ke anak-anak kita. Kalau mendengar hal ini saya suka ngeri sekali.

 

Mungkin kitanya lupa kalau kemerdekaan yang kita peroleh sekarang bukan hasil cuma-cuma. Bisa jadi oknum-oknum yang menyelewengkan kemerdekaan sebetulnya bukan bangsa Indonesia. Kalau mereka mengaku bangsa Indonesia tentu akan sayang sama negerinya doong... gak akan menyakiti bangsa dan negaranya sendiri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline