Lihat ke Halaman Asli

Yeni Kurniatin

if love is chemistry so i must be a science freaks

[FR] Pembunuh Presiden

Diperbarui: 16 Juli 2015   23:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sudah mau tiga hari perempuan itu menangis tersedu di sudut mesjid. Usianya masih muda, sekitar dua puluh tahunan. Wajahnya cantik tapi seperti kurang makan. Sudah banyak orang yang mencoba membujuknya agar perempuan itu berhenti menangis tapi tak ada yang berhasil. Malah makin kencang suaranya. Tentu saja hal ini membuat warga kebingungan. Mana puasa sebentar lagi.

Mesjid akan dibersihkan untuk menyambut bulan suci-bulan yang penuh berkah. Dan mereka tidak bisa memaksa wanita itu keluar dari mesjid.

            “Apa hak kita mengusir dia?” Bi Iting bersiap-siap membawa sapu lidi langsung menolak usulan Ceu Isah untuk mengusir perempuan yang terus menangis di sudut mesjid. Sapu lidinya ditancapkan seperti membuat penanda jejak di bumi.

            “Ceu, nanti malam kita harus sudah taraweh, dari kemarin kita gak bisa membersihkan mesjid gara-gara dia. Apa nanti malam juga kita batal taraweh gara-gara dia??!!” Ceu Isah sudah sewot saja dibuatnya. Sedangkan Si perempuan sama sekali tidak mengindahkan apa yang terjadi di belakang punggungnya. Dia dengan khidmat menangis di pojok.

            Meski memakai daster Ceu Isah terlihat cukup gagah. Tempo hari Ceu Isah beserta rombongan berinisiatif mendatangi perempuan itu. Jumlah rombongannya lima, enam bersama Ceu Isah. Tak perlu pakai batu akik, tampang-tampang mereka sudah cukup rusuh.

            Niatnya sudah cukup jelas, demi kepentingan warga perempuan asing yang menempati pojok mesjid tanpa izin harus digusur.

Sayangnya Ceu Isah langsung mengurungkan niatnya menggusur perempuan itu, ketika dia mengatakan kalau dirinya adalah pembunuh Sang Presiden.

            Persoalan ini tidak harus menjadi pelik. Tak perlu pasukan Ceu Isah turun dari khayangan, seandainya Pak Ustadz dan keluarga tidak mudik. Ritual mudik Pak Ustadz beda dengan kaum kebanyakan. Beliau sebelum puasa biasanya pulang untuk mengunjungi tanah leluhurnya di Garut. Sedangkan ritual mudik lebaran baru dilakukan biasanya seminggu setelah lebaran berlangsung.

            Perhitungan Bi Iting sangat tepat, begitu sampai di halaman rumah Pak Ustad, Pak Ustadz dan Bu Ustadz sedang menurunkan bagasi dari becak.

            Setelah mengucap salam dan berbasa – basi sebentar yang menyatakan sekaligus memandaskan bahwa kehadiran Bi Iting bukan buat nagih oleh-oleh semata, Bi Iting menceritakan kejadian sebenarnya. Bahwa sesungguhnya pada tiga hari kepergian Pak Ustadz ke kampung halaman, mereka mendapat tamu yang luar biasa. Bi Iting menceritakannya dengan detail termasuk soal pasukan Ceu Isah yang sudah bersiap untuk mengambil tindakan jika perempuan itu melakukan gerakan yang membahayakan. Diceritakan pula kalau Bi Iting  tidak percaya perempuan itu pembunuh presiden seperti yang Ceu Isah bilang.

--

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline