Jakarta,- Belakangan ini masyarakat Indonesia tengah digemparkan oleh rencana Revisi Undang-Undang (UU) TNI yang menuai pro dan kontra lantaran draft revisi UU TNI telah beredar luas di masyarakat. Rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasiona Indonesia (TNI) menuai kecaman dari Koaliasi Masyarakat Sipil dalam keterangan tertulis pada Selasa 9 Mei 2023.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa Reformasi Sektor Keamanan melalui UU TNI tersebut berpotensi mematikan nilai-nilai demokrasi bangsa Indonesia dan menghidupkan kembali dwifungsi TNI sebagai unsur militer.
Dikutip dari DetikNews.com (2023), Ketua Centra Initiative, Al-Araf sebagai perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa pemerintah sebaiknya meninjau kembali rencana Revisi UU TNI karena substansi yang diusulkan justru berpotensi memundurkan demokrasi dan memundurkan TNI sebagai alat pertahanan negara.
Sejumlah substansi yang diusulkan dalam revisi UU TNI juga dinilai menghambat pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Seperti substansi terkait perluasan fungsi TNI yang sebelumnya sebagai alat negara di bidang pertahanan negara, tetapi juga sebagai keamanan negara yang keliru karena militer dapat menggunakan wewenang tersebut untuk menghadapi masyarakat yang dianggap oleh mereka sebagai ancaman keamanan negara. Kondisi tersebut seperti mengembalikan fungsi tambahan militer di era pemerintahan Orde Baru.
Dalam revisi UU TNI tersebut juga dicantumkan penghapusan terhadap kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI, sebagaimana yang tercantum pada Pasal 14 UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara. Penghapusan kewenangan tersebut dianggap berbahaya karena pengerahan dan penggunaan TNI diluar kendali Presiden sebagai kepala negara yang dikhawatirkan dapat mendorong kekuasaan militer lebih besar dibandingkan Presiden.
Di sisi lain, usulan revisi terhadap UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan berharap agar para perwira TNI dapat menempati jabatan-jabatan di Kementerian/Lembaga dengan permintaan dari institusi disertai dengan izin Presiden Republik Indonesia.
Sayangnya usulan tersebut kurang mendapat respon positif dari masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat juga menyoroti perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh TNI aktif sebagaimana yang tercantum dalam dalam draf Revisi UU Pasal 47 Poin 2 yang dapat menduduki jabatan sipil lebih banyak dari sebelumnya. Perwira TNI aktif bisa menjabat di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Pengamanan Perbatasan, Badan Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, dan kementerian atau lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan presiden.
Perlu diingat ketika era Orde Baru berlangsung, TNI yang sebelumnya memiliki nama resmi ABRI, memiliki dwifungsi sehingga mereka juga diizinkan untuk terjun kedalam ranah politik praktis, termasuk dengan menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, kepala daerah, dan lainnya. Artinya, usulan melalui draft Revisi UU TNI tersebut membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik dan menjadi awal kemunduran bagi jalannya reformasi demokrasi di Indonesia dan menghambat pemajuan HAM di Indonesia seperti yang pernah terjadi di tahun 1998.
Wacana lain yang disampaikan oleh Kepala Bidang Riset Edukasi PSHK Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), M. Addi Fauzani pada Jumat, 29 Mei 2023 juga menilai bahwa revisi UU TNI saat ini memang masih dalam proses internal TNI, tetapi tahapan ini penting bagi setiap elemen masyarakat, pakar hukum, dan civitas akademka untuk ikut terlibat memberikan kritik dan masukan, khususnya pada poin-poin yang mengancam keutuhan NKRI di masa depan.
Tidak hanya itu, menurutnya perluasan tugas TNI seperti mendukung dan menanggulangi kejahatan siber, penyalahgunaan narkotika, dan mencegah aksi terorisme merupakan kewenangan dari Polri, sehingga kondisi ini berpotensi membuat tumpang tindih antara tugas TNI dan Polri.
Untuk itu, masyarakat melalui berbagai perwakilan ahli, aktivis, maupun civitas akademik berharap agar pemerintah meninjau ulang usulan revisi UU TNI yang menjadi prioritas pembahasan legislasi di tahun 2022-2023. Hal ini mengingat agenda Revisi UU TNI bukan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini dan pemerintah perlu melibatkan masyarakat dari berbagai elemen untuk ikut meninjau kembali polemik yang mungkin ditimbulkan akibat Revisi UU TNI.