Lihat ke Halaman Asli

Carisa Septianti

MAHASANTRI AZAMY

Pahlawanku, Engkau Malaikat Tak Bersayap

Diperbarui: 25 November 2022   18:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

PAHLAWANKU

Tidak ada sepatah kata pun yang dapat mewakili betapa besar pengorbanannya. Mulai dari aku dikandungnya hingga detik aku menuliskan sajak kata ini. Ia yang mengenalkan kepadaku tentang apa itu dunia. Tuturnya begitu lembut, parasnya begitu syahdu membalut pada setiap sentuhan yang ia berikan. Ia bukan hanya mengajarkan tentang pengetahuan yang begitu luas, namun juga mendidik dan mengarahkanku agar akhlakku menjadi lebih baik.

Begitu besar kaih sayangnya, hingga luka yang disebabkan oleh anak-anaknya tak pernah ia rasakan, namun pengorbanannya tidak pernah berhenti. Dua puluh empat jam ia habiskan untuk mengabdikan dirinya ke lingkungan sekitarnya. 

Mulai subuh petang ia bangun di kala seisi rumah belum ada yang bangun, menyiapkan perbekalan untuk anak-anaknya, mencuci, dan mengerjakan pekerjaan domestic lainnya. Kemudian berlanjut dengan kegiatannya berperan di luar rumah mengajarkan anak-anak usia dini yang berusia sekitar 3-7 tahun, dengan sabar ia mengajarkan pendidikan kepada mereka. 

Tidak berhenti sampai di situ, di rumah sederhana kami terdapat sebuah toko kecil yang memperjualkan sembako dan beberapa alat tulis sekolah, selepas kerja seharian di luar rumah, tidak kenal lelah ibu menjaga toko itu hingga malam hari tiba. Semua hal yang ia lakukan semata-mata untuk membantu perekonomian keluaranya, sepadat itu aktivitas yang dilakukannya, namun tidak sepatah kata lelahpun pernah keluar dari lisannya, meski tetes keringat terus keluar dari tubuhnya.

Bagai malaikat tak bersayap, itulah perumpaan yang sangat tepat untuk menggambarkan betapa sucinya sang ibu. Meski hatinya dipenuhi sayatan karena ulah anak-anak nya, tidak pernah ekspresi kesal atau marah ia tampakkan kepada kami. Sembilan bulan kami berada di kandungnya, dengan jerih payah ibu melahirkan kami padahal sejatinya ia berada antara hidup dan mati. Bahkan, banyak sekali pepatah yang mengatakan bahwa seorang ibu rela menukarkan nyawanya dengan nyawa sang anak. Begitu besar kasih saying ibu, ibarat Tuhan yang sedang mencintai hambanya dengan amat ikhlas.

Waktu terus berjalan, kegigihan ibu dalam membimbing anak-anak nya tidak pernah surut. Hingga kami beranjak dewasa, ibu memilihkan tempat mencari ilmu yang sangat mulia. Karena di sanalah kami dapat mengenal siapa itu guru. Dengan berat hati, akhirnya sang ibu rela melepas sang anak pergi di pengembaraan keilmuan kamdi tempay inilai.

Bertahun-tahun kami merasakan hidup jauh dengan orang tua. Kami terpisah oleh jarak yang begtu jauh dan waktu yang begitu lama. Awalnya di pondok pesantren, kami mengira kami anak buangan, anak yang orang tuanya sudah tidak sanggup untuk mendidiknya. Namun sekarang kami tersadar bahwa di tempat inilah pendidikan terbaik ialah di pondok pesantren.  

Hingga detik sajak kata tercetak oleh mesin ketik ini, lantunan doa sebagai perwujudan dari harapan kami agar ibu selalu di beri kesehatan, agar seluruh dimensi waktu yang kami lalui selalu bersama dengan ibu. Sebanding dengan kami yang selalu mengharap doa dari lisan ibu. Karena tidak ada doa yang lebih didengar oleh Yang Maha Kuasa selain doa ibu. Yang dapat menembus sprektum cahaya, doa yang lebih mustajab dari doa seribu para wali. Karena tak di dunia ini taka da pengorbanan yang lebih besar selain pengorbanan ibu kepada keluarganya terutama anak-anaknya.

Awardee Cendekia Baznas Indonesia

Mahad Aly Al-Zamachsyari

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline